Senin, 15 Maret 2010

10 Tips untuk Membantu Kamu dalam Mengerjakan Ujian


1. Datanglah dengan persiapan yang matang dan lebih awal.
Bawalah semua alat tulis yang kamu butuhkan, seperti pensil, pulpen, kalkulator, kamus, jam (tangan), penghapus, tip ex, penggaris, dan lain-lainnya. Perlengkapan ini akan membantumu untuk tetap konsentrasi selama mengerjakan ujian.

2. Tenang dan percaya diri.
Ingatkan dirimu bahwa kamu sudah siap sedia dan akan mengerjakan ujian dengan baik.

3. Bersantailah tapi waspada.
Pilihlah kursi atau tempat yang nyaman untuk mengerjakan ujian. Pastikan kamu mendapatkan tempat yang cukup untuk mengerjakannya. Pertahankan posisi duduk tegak.

4. Preview soal-soal ujianmu dulu (bila ujian memiliki waktu tidak terbatas)
Luangkan 10% dari keseluruhan waktu ujian untuk membaca soal-soal ujian secara mendalam, tandai kata-kata kunci dan putuskan berapa waktu yang diperlukan untuk menjawab masing-masing soal. Rencanakan untuk mengerjakan soal yang mudah dulu, baru soal yang tersulit. Ketika kamu membaca soal-soal, catat juga ide-ide yang muncul yang akan digunakan sebagai jawaban.

5. Jawab soal-soal ujian secara strategis.
Mulai dengan menjawab pertanyaan mudah yang kamu ketahui, kemudian dengan soal-soal yang memiliki nilai tertinggi. Pertanyaan terakhir yang seharusnya kamu kerjakan adalah:

o soal paling sulit
o yang membutuhkan waktu lama untuk menulis jawabannya
o memiliki nilai terkecil

6. Ketika mengerjakan soal-soal pilihan ganda, ketahuilah jawaban yang harus dipilih/ditebak.
Mula-mulai, abaikan jawaban yang kamu tahu salah. Tebaklah selalu suatu pilihan jawaban ketika tidak ada hukuman pengurangan nilai, atau ketika tidak ada pilihan jawaban yang dapat kamu abaikan. Jangan menebak suatu pilihan jawaban ketika kamu tidak mengetahui secara pasti dan ketika hukuman pengurangan nilai digunakan. Karena pilihan pertama akan jawabanmu biasanya benar, jangan menggantinya kecuali bila kamu yakin akan koreksi yang kamu lakukan.

7. Ketika mengerjakan soal ujian esai, pikirkan dulu jawabannya sebelum menulis.
Buat kerangka jawaban singkat untuk esai dengan mencatat dulu beberapa ide yang ingin kamu tulis. Kemudian nomori ide-ide tersebut untuk mengurutkan mana yang hendak kamu diskusikan dulu.

8. Ketika mengerjakan soal ujian esai, jawab langsung poin utamanya.
Tulis kalimat pokokmu pada kalimat pertama. Gunakan paragraf pertama sebagai overview esaimu. Gunakan paragraf-paragraf selanjutnya untuk mendiskusikan poin-poin utama secara mendetil. Dukung poinmu dengan informasi spesifik, contoh, atau kutipan dari bacaan atau catatanmu.

9. Sisihkan 10% waktumu untuk memeriksa ulang jawabanmu.
Periksa jawabanmu; hindari keinginan untuk segera meninggalkan kelas segera setelah kamu menjawab semua soal-soal ujian. Periksa lagi bahwa kamu telah menyelesaikan semua pertanyaan. Baca ulang jawabanmu untuk memeriksa ejaan, struktur bahasa dan tanda baca. Untuk jawaban matematika, periksa bila ada kecerobohan (misalnya salah meletakkan desimal). Bandingkan jawaban matematikamu yang sebenarnya dengan penghitungan ringkas.

10. Analisa hasil ujianmu.
Setiap ujian dapat membantumu dalam mempersiapkan diri untuk ujian selanjutnya. Putuskan strategi mana yang sesuai denganmu. Tentukan strategi mana yang tidak berhasil dan ubahlah. Gunakan kertas ujian sebelumnya ketika belajar untuk ujian akhir.


Sumber :
http://www.indonesiaindonesia.com/f/40179-sepuluh-tips-saat-ujian/

Akankah UN Dihapus?

Oleh : Andryan, SH

Kontroversi tentang penghapusan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kini telah mencapai titik terang setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah.

UN dinilai cacat hukum dan pemerintah pun dilarang menyelenggarakan UN. ‘’Putusan MA adalah menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, yakni Pemerintah RI, putusan MA tersebut diambil pada 14 September lalu. Mengutip data MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono melalui Tim Advokasi Korban UN (TeKUN) dan Education Forum tersebut, diputus dengan putusan perkara Nomor Register 2596 K/PDT/2008. Majelis hakimnya adalah Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said. Kristiono adalah orang tua Indah, yang dinyatakan tidak lulus dari sekolah lantaran nilai UN tidak sesuai standar pemerintah. Keputusan MA itu menguatkan putusan PT yang juga menolak permohonan pemerintah. (Republika Online, 26/11/09).

Pertimbangannya, para tergugat, yakni Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara. Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum menggelar UN. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat UN. MA juga menilai UN melanggar Pasal 61 UU Sisdiknas, menyatakan bahwa yang berhak menentukan kelulusan adalah pihak sekolah dan bukan negara.

Akan tetapi, kini muncul keraguan apakah UN benar-benar akan dihapus sesuai amanat MA? Sebab, pemerintah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) untuk mempertahankan pelaksanaan UN. Bahkan, meskipun telah ada putusan kasasi, pelaksanaan UN masih tetap akan dilaksanakan oleh BSNP tahun 2010. Mereka pun berdalih anggaran pelaksanaan UN telah masuk APBN 2010. Lalu, apakah pemerintah tidak mengindahkan amar putusan MA yang memerintahkan penghapusan UN? Inilah ironi sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan pemerintah dalam hal ini Presiden, Wapres, Mendiknas, serta BSNP seakan bersikap superior dengan tidak melaksanakan putusan kasasi MA tersebut.

Banyak yang pihak yang mendukung penghapusan UN. Bahkan, Prof Dr Arief Rahman Hakim, selaku pengamat pendidikan, mengaku senang dengan penghapusan UN. "Sejak dulu saya tidak setuju dengan adanya UN, kata sesepuh pendidikan tersebut. Beliau juga menilai rumusan UN ada yang salah. Apalagi, katanya, UU Sisdiknas tidak menyinggung soal UN.

Hapuskan UN

Pemerintah memang memiliki tujuan baik. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemerintah memilih timing yang tidak tepat. Standar nilai yang ditetapkan pemerintah adalah upaya untuk mendongkrak prestasi pendidikan kita, dan tentu saja menunjukkan prestise bangsa kita dimata dunia, sehingga dilaksanakan sebuah ujian bernama UN. Tapi, dalam UN itu sendiri, pemerintah tidak menggali unsur kemanusiaan lebih dalam lagi. Sistem UN hanyalah sistem robot, menilai 3 tahun belajar dari 3 hari. Mempekerjakan mesin untuk menilai keringat para siswa yang telah menghabiskan tiga tahun berharga hidupnya untuk datang mencari ilmu ke sebuah sekolah. UN pun menilai manusia dari segi semu, bukan moral. Bahkan, dengan adanya UN banyak para siswa yang mengalami gangguan psikis yang sangat berat seperti stres, percobaan bunuh diri, hilangnya kepercayaan diri dan gangguan mental lainnya.

Penulis sendiri pada tahun 2004 atau tepatnya untuk yang kedua kalinya UN diselenggarakan dengan nama yang sebelumnya, UAN, pernah merasakan betapa beratnya mental yang diemban ketika akan menghadapi UN. Meskipun pada akhirnya penulis merasakan bak orang paling bahagia sedunia ketika menerima amplop yang menerangkan pernyataan kelulusan. Tapi, kebahagiaan yang penulis rasakan tidak serta merta di ikuti oleh beberapa rekan penulis yang ketika itu mengalami ketidakberuntungan. Padahal dalam segi prestasi baik tingkat sekolah maupun di luar sekolah, mereka banyak mengharumkan nama sekolah dan daerah. Tapi, apa yang mereka rasakan ketika itu? Seakan dunia telah menjadi gelap setelah menerima surat ketidaklulusannya.

Tidak hanya itu, pelaksanaan UN dapat juga memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana. Sebab, untuk mencapai nilai kelulusan, maka banyak pelajar yang akan menempuh berbagai cara untuk dapat meraih kelulusan meskipun dilalui dengan cara yang salah. UN memang selalu diliputi oleh kecurangan baik yang dilakukan oleh seorang pelajar maupun oleh pihak pendidik seperti kepala sekolah dan guru.

Bukankah tindakan kecurangan tersebut telah menjadi suatu tindak pidana? Inilah potret dari hasil yang ingin diharapkan oleh pemerintah. Bahkan tindakan untuk melakukan kecurangan UN telah memasuki tingkat perencanaan dan pengorganisasian. Boleh dikatakan, apa yang telah dilakukan oleh pelajar dan pendidik tersebut sebenarnya jauh dari apa yang diinginkan. Mereka tentunya tidak ingin mengotori suatu wadah pendidikan dengan tindakan kecurangan. Tapi, meskipun suatu sekolah dapat kategori "sekolah unggulan", lalu pada pelaksanaan UN, siswanya banyak yang tidak lulus. Apakah lantas predikat sekolah unggulan masih melekat di sekolah tersebut?, Memang, untuk mendapatkan hasil kelulusan dari UN adalah dengan bekerja keras dan mengikuti bimbingan belajar secara komprehensif. Tapi, permasalahan kembali muncul, apakah semua siswa dapat mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah dengan biaya yang relatif mahal dan mendapatkan buku-buku pelajaran yang berkualitas, sementara nilai standar UN yang ditetapkan pemerintah semuanya sama untuk seluruh Indonesia.

Sebenarnya, apa yang diajarkan dari UN hanyalah pendidikan tanpa ilmu pengetahuan, karena yang ada dipikiran hanyalah bagaimana cara lulus dengan menembus angka yang telah ditetapkan pemerintah untuk kelulusan. Menjelang UN, materi pun dikejar, murid-murid fokus pada pelajaran, akan tetapi konsep ini tidak diterima penuh karena harus latihan dan drilling soal yang berbeda-beda dan memprediksikan apa yang tidak pasti. Sekarang, untuk apa masuk sekolah selama 3 tahun jika penentuannya hanya 3 hari.

Masalah UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional bukan kali ini saja muncul. Sejak dulu, kita mengenal Ujian Negara, lalu dihentikan. Kemudian kita mengenal Ebtanas, lalu dihentikan pula. Lantas ada Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang berganti nama menjadi UN (Ujian Nasional) meskipun metodologinya tetap sama dengan yang sebelumnya. Kebijakan pemerintah sejak ujian negara, Ebtanas, UAN, dan UN itu menunjukkan betapa semua bentuk ujian itu selalu bermasalah dan tidak akan pernah bisa menjadi alat untuk standardisasi pendidikan nasional. Lalu apa tidak ada alat ukur lain?

Di tahun 1978, pemerintah Orde Baru dengan Menteri P & K, Daoed Joesoef pernah melakukan sebuah Test Diagnostik pendidikan secara nasional. Meskipun data yang penulis peroleh agak samar, tapi Tes Diagnostik itu merupakan upaya mengukur standar tingkat penyerapan kurikulum yang sedang berjalan. Dalam Tes Diagnostik, tidak seluruh sekolah diikutsertakan. Dengan teknik sampling, pemerintah melakukan tes untuk standardisasi pendidikan nasional itu, dan itu digunakan untuk merumuskan kebijakan pendidikan ke depan. Alat ukur Tes Diagnostik relevan untuk mengukur standar pendidikan nasional. Tes itu juga tidak menentukan kelulusan siswa hanya berdasarkan 2-3 biji mata pelajaran. Artinya, kalau tujuan UN semata untuk mengukur Standardisasi Pendidikan Nasional, maka Tes Diagnostik sudah sangat adequate. Dan itu bisa dilakukan dengan biaya yang lebih hemat.

Penulis dan tentunya banyak pihak berharap agar pelaksanaan UN benar-benar ditiadakan, hal ini tentu saja bukan berarti kita tidak ingin negara dan bangsa kita kalah saing dengan bangsa lain. Tapi, alangkah bijaknya jika pemerintah dapat menempuh metode pembelajaran yang lebih menyentuh nati nurani dengan selalu meningkatkan kualitas pengajaran baik kepada para siswa maupun kepada guru. Semoga, pemerintah dapat mengintropeksi diri dengan melaksanakan putusan kasasi MA yakni menghapus UN. ***

Penulis adalah Peminat Hukum, Politik, dan Sosial. E-mail ( andryan_ian@yahoo.com)


Sumber :

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37082:akankah-un-dihapus-&catid=497:08-desember-2009&Itemid=223




Perlu Perhatian Penuh Ortu Dalam UN

Perhatian penuh dari orang tua sangat diperlukan untuk mensupport siswa dalam menghadapi Ujian Nasional pada pertengahan Bulan Maret 2010 ini. Hal itu dikemukakan oleh Pakar Psikologi dari UMK Widjanarko.

Dia menuturkan, dengan naiknya standart minimal kelulusan siswa pada tahun ini, yakni 5,50 pastilah sangat membebani siswa, apalagi ditambah dengan jumlah mata pelajaran yang berjumlah 6 mata pelajaran. "Dalam UN ini orang tua haruslah berperan aktif untuk ikut mendukung anaknya dalam bentuk konkrit, bukan hanya mendukung saja tanpa adanya tindakan nyata terhadap anaknya"ujarnya.

Jangan sampai seorang anak menanggung beban UN sendirian, karena bagaimanapun juga support dari lingkungan sekitar, khususnya orang tua sangat dibutuhkan dan diperlukan. "Orang tua harus mengetahui bagaimana caranya anak agar bisa belajar dengan serius dan selalu membekali anaknya bahwa UN bukanlah akhir dari segala-galanya jadi tidak perlu takut apabila tidak lulus"ungkapnya.

Namun, Sering kali orang tua merasa tidak sempat untuk memantau anaknya, dengan alasan bekerja, apalagi di Kabupaten Kudus yang mayoritasnya pekerja pabrik sehingga jarang memantau anak-anaknya. "Sesibuk-sibuknya orang tua, harus tetap memantau anaknya dalam menghadapi UN, lagian sekarang zaman sudah canggih, bisa menggunakan alat komunikasi dengan mudah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk membiarkan anak berjuang sendirian"tambahnya.

Widjanarko menambahkan, yang terpenting adalah mengintensifkan komunikasi antara orang tua dan anak, karena dengan begitu akan tercipta suasana yang kondusif, sehingga orang tua akan mengetahui cara belajar anak yang efektif, karena cara belajar tiap-tiap anak berbeda."Dengan begitu siswa tidak merasa mempunyai beban, namun juga tidak bisa seenaknya sendiri"ungkapnya.

Selain peran orang tua, dalam mempersiapkan UN nanti adalah mempertahankan pola dan strategi belajar siswa yang sudah dikasih dari sekolahannya masing-masing. "Karena waktunya sudah mepet, siswa harus benar-benar mempertahankan pola belajar yang sudah ada saat ini, bahkan harus ditingkatkan, namun tetap dalam batas normal, artinya tidak perlu memforsir tubuh belajar dari pagi-malam, karena tubuh juga punya hak untuk istirahat"ujarnya.

Sedangkan saat ditanya pendapatnya mengenai tingkat kelulusan siswa minimal 5,50, Widjanarko mengaku tidak setuju dengan adanya nilai minimal tersebut, pihaknya lebih memilih untuk dibedakan antar regional atau rayon mengenai soal-soal UN. "Sebenarnya nilai minimal 5,50 tidak masalah asalkan soalnya antar daerah atau provinsi ada perbedaan, karena kondisi daerah yang satu dengan yang lain berbeda, untuk itu juga harus ada pembedaan dalam soalnya"tegasnya.(mg4)


Sumber :

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=146311

5 Maret 2010


Rapor Kejujuran Unas Jatim

Oleh : Biyanto

BALITBANG Kementerian Pendidikan Nasional telah memublikasikan evaluasi tingkat kejujuran sekolah dalam penyelenggaraan ujian nasional (unas) tahun ajaran 2008/2009. Di antara 33 provinsi yang disurvei, ternyata hanya ditemukan satu provinsi yang memiliki tingkat kejujuran di atas 50 persen. Provinsi tersebut adalah Jogjakarta.

Di provinsi itu, tingkat kejujuran sekolah mencapai 70,24 persen. Di 32 provinsi lainnya, tingkat kejujuran jauh di bawah 50 persen. Bahkan, Provinsi Gorontalo dikategorikan dalam daftar hitam karena menduduki peringkat paling tidak jujur.

Rapor kejujuran unas untuk sekolah-sekolah di Jatim juga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Dikatakan, di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya ada tujuh daerah yang memiliki tingkat kejujuran tinggi. Tujuh kabupaten/kota itu adalah Kota Malang, Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Pasuruan, dan Kota Batu. Jika dibuat rata-rata, tingkat kejujuran tujuh daerah tersebut melebihi 50 persen.

Bahkan, Kota Blitar berhasil mencatat rekor tingkat kejujuran hingga mencapai 77,78 persen. Data rapor kejujuran unas menunjukkan bahwa masih ada 31 kabupaten/kota di Jatim yang berkategori abu-abu alias tidak jujur. Terlepas dari akurasi metodologi yang digunakan, rasanya data Balitbang Kemendiknas tersebut patut menjadi perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan kredibilitas penyelenggaraan unas.

Untuk menyongsong penyelenggaraan unas tahun ajaran 2009/2010, rasanya kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dinas pendidikan, dan pemerintah perlu didorong untuk meningkatkan kejujuran. Jika diperlukan, pihak -pihak yang berkepentingan dengan hasil unas, terutama siswa dan sekolah, harus diajak berikrar agar berperilaku jujur saat mengikuti unas. Dengan demikian, penyelenggaraan unas tahun ini jauh lebih kredibel.

Sebab, publik selama ini telanjur menempatkan unas sebagai salah satu indikator sekolah bermutu. Karena itu, akan sangat ironis jika hasil unas yang dipercaya tersebut ternyata masih banyak mengandung budaya ketidakjujuran akademik (academic dishonesty). Berangkat dari penyelenggaraan unas yang kurang kredibel itulah, forum rektor yang beranggota para rektor perguruan tinggi negeri menolak usul Mendiknas untuk mengintegrasikan hasil unas dengan sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB).

Perlu Ikrar Kejujuran

Pemerintah telah menetapkan jadwal unas secara nasional pada 22-26 Maret (SMA/MA/SMK) dan 29 Maret-1 April (SMP/MTs/SMPLB). Sementara itu, siswa kelas akhir SD/MI/SDLB akan mengikuti ujian penentuan kelulusan bernama ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Itu berarti tidak lama lagi para siswa, orang tua, guru, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil unas akan diselimuti perasaan khawatir dan ''deg-degan''. Sebab, unas masih dianggap segala-galanya. Tegasnya, kelulusan siswa akan ditentukan dalam beberapa hari melalui ujian mata-mata pelajaran yang di-unas-kan.

Jadwal pelaksanaan unas tahun ini memang lebih awal dari tahun sebelumnya karena ada ujian ulangan bagi yang tidak lulus. Itu berarti para siswa hanya memiliki waktu efektif sekitar dua bulan untuk mempersiapkan diri. Tentu, mepetnya waktu persiapan tersebut bisa menambah beban pihak-pihak yang selama ini sangat berkepentingan dengan hasil unas. Meski demikian, untuk kepentingan menjaga kredibilitas unas, rasanya ikrar kejujuran saat mengikuti unas perlu terus digelorakan.

Berdasar data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim, peserta unas tahun ini mencapai 1.517.693 siswa. Rinciannya, 349.129 siswa SMA/MA/SMK, 543.605 siswa SMP/MTs/SMPLB, dan 624.959 siswa SD/MI/SDLB. Mereka berasal dari 34.395 sekolah di Jatim. Rinciannya, 25.435 sekolah dasar, 5.863 sekolah menengah pertama, dan 3.097 sekolah menengah atas.

Untuk meningkatkan kejujuran saat mengikuti unas, rasanya para siswa perlu diberi semangat dan dorongan yang membesarkan hati (encouragement). Hal itu sangat penting. Sebab, berdasar pengalaman tahun sebelumnya, unas selalu menghadirkan beban bagi siswa. Bahkan, pimpinan sekolah, guru, orang tua, dan kepala dinas pendidikan akan merasakan beban yang sama.

Yang lebih aneh, banyak juga kepentingan di luar pendidikan yang turut bertaruh dengan tingkat kelulusan siswa. Karena itu, tidak mengherankan jika pejabat publik di daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota juga khawatir atas tingkat kelulusan unas.

Dalam situasi yang penuh tekanan inilah, dorongan dan semangat bagi siswa, pimpinan sekolah, dan guru, penting diberikan. Mereka harus diyakinkan bahwa ujian merupakan salah satu bentuk evaluasi eksternal terhadap proses belajar-mengajar (PBM).

Beban berat yang dirasakan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil unas dalam tingkat tertentu jelas berpotensi mendorong orang berperilaku tidak jujur. Apalagi, Pemerintah Provinsi Jatim melalui Wakil Gubernur Saifullah Yusuf menargetkan tingkat kelulusan UN harus mencapai 99 persen. Target pejabat publik terhadap kelulusan unas ini biasanya dipahami kepala dinas pendidikan di daerah sebagai perintah untuk menyukseskan unas. Tentu tidak hanya sukses dalam penyelenggaraan, tapi juga tingkat kelulusan.

Karena itu, kepala dinas pendidikan pun memerintah kepala sekolah untuk menyukseskan unas. Selanjutnya, kepala sekolah memerintah guru-guru mata pelajaran yang di-unas-kan berusaha keras agar siswa lulus unas. Dapat dipahami jika pejabat publik sangat berkepentingan dengan tingkat kelulusan unas. Sebab, tingginya angka kelulusan bisa digunakan memperbaiki citra dirinya.

Yang sering tidak disadari, bermula dari tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil akhir unas itulah, perilaku tidak jujur di sekolah muncul. Dengan alasan menyukseskan unas, biasanya sekolah membentuk tim sukses. Pada saatnya, tim sukses itulah yang banyak bermain untuk membantu siswa mengerjakan soal-soal unas. Dalam kultur seperti ini, dapat dibayangkan kredibilitas penyelenggara unas.

Berkaitan dengan problem itulah, rasanya kepentingan di luar pendidikan, termasuk kepentingan politik pejabat publik, perlu dikurangi agar sekolah dan siswa menjalani unas dengan tenang dan penuh percaya diri. Para siswa perlu diyakinkan bahwa kejujuran itu jauh lebih penting dari sekadar nilai yang diperoleh melalui unas.

Bahkan, kejujuran akademik semestinya tidak hanya dilakukan saat unas. Unsur-unsur di sekolah sejak awal seharusnya membangun kultur akademik yang jujur. Nilai-nilai kejujuran itulah yang sesungguhnya dapat menunjukkan karakter seseorang. Bukankah pendidikan itu seharusnya diorientasikan untuk mencetak individu-individu yang berkarakter kuat? Bermodal karakter kuat itu, kita akan melihat output lembaga pendidikan sebagai pribadi-pribadi yang memiliki daya saing tinggi. (*/mik)

Dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen PWM Jatim


Sumber :

http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=120835

6 Maret 2010




Sulitnya Lulus UN

BISA jadi saat ini masa paling mendebarkan bagi para siswa. Terutama mereka yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional (UN), baik tingkat SMP maupun SMA.

UN yang akan digelar pada Maret, menjadi momok bagi siswa. Sebuah program standarisasi pendidikan yang dibuat pemerintah itu, memang begitu menentukan bagi nasib siswa melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. Hasil dari proses pendidikan selama tiga tahun, akan ditentukan oleh tiga hari atau selama UN itu digelar.

Tak heran jika semua sekolah berikut siswanya, seratus persen menyiapkan energinya menghadapi UN. Try out, pengayaan, bimbingan belajar dan apa pun istilahnya ditempuh guna mencapai hasil maksimal saat UN.

Hasilnya? Dari dua try out yang digelar terutama untuk Banjarmasin dan Kalsel, hasilnya masih jauh dari harapan. Pada try out tingkat SMA se-Banjarmasin beberapa waktu lalu, bisa dikatakan hasilnya jeblok. Banyak sekolah nilai kelulusan siswanya di bawah 10 persen.

Kemudian ketika try out SMA tingkat Kalsel digelar oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kalsel, hasilnya juga kurang lebih sama. Berdasarkan hasil akhir, tingkat kelulusan tertinggi diraih Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dengan angka 70 persen, kemudian Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang meraih 65 persen. Banjarmasin yang idealnya memiliki nilai kelulusan tertinggi, ternyata cuma menempati posisi ketiga dengan nilai kelulusan 50 persen.

Yang lebih memprihatinkan menimpa Kabupaten Kotabaru. Untuk mata pelajaran IPA dan IPS, tingkat kelulusan siswa daerah itu hanya dua persen. Malah jika dilihat per sekolah, di Banjarmasin ada sekolah untuk jurusan bahasa yang nilai kelulusannya nol persen alias semua siswanya tidak lulus. Demikian juga di Kabupaten Tapin. Ada sekolah, untuk mata ajaran IPS kelulusannya juga nol persen.

Jika melihat hasil itu, siapa pun, guru, siswa maupun orangtua pasti terhenyak. Meski try out hanyalah sebuah tes percobaan, namun hasilnya bisa memberi gambaran hasil UN. Itu karena soal yang diujikan memiliki standar sama dengan UN.

Hasil try out itu juga menunjukkan kritikan terhadap penyelenggaraan UN ada benarnya. Minimal memunculkan sebuah realita, standarisasi mutu pendidikan secara nasional masih jauh dari harapan yang dikonsepsikan.

Penyebabnya, mutu pendidikan memang masih timpang. Jawa dan luar Jawa, kota dan pelosok, kondisi dan mutu pendidikannya masih sangat timpang. Jadi, rasanya kurang fair menstandarkan mutu pendidikan jika kondisi proses belajar mengajar dan fasilitas pendukungnya timpang. Ibarat lomba lari, sangat sulit peserta lomba mencapai garis finish bersamaan apabila titik startnya berbeda-beda.

Sebagai sebuah kritik, mestinya UN tak dilakukan serentak. Artinya, proses standarisasi pendidikan seharusnya dilakukan bertahap dimulai dari masing-masing daerah, regional kemudian baru tingkat nasional.

Untuk mencapai standarisasi nasional itu, fasilitas maupun SDM pendukung pendidikan seperti pengajar berkualitas juga harus diseragamkan secara nasional. Jika semua itu telah siap, barulah standarisasi mutu pendidikan nasional dilakukan secara ajeg.

Tidak seperti sekarang, UN terkesan hanyalah sebuah ‘ambisi’ menghasilkan output pendidikan yang berstandar nasional namun mengabaikan proses dan fasilitas belajar yang justru seharusnya lebih dulu distandarisasi. (*)

Sumber:

http://forum.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/36232/sulitnya-lulus-un

24 Februari 2010


Penekanan Pakta Kejujuran UN : Harus Diimbangi dengan Aksi Nyata

Adanya kebijakan pemerintah agar daerah meneken pakta kejujuran soal Ujian Nasional (UN) untuk menjamin pelaksanaan ujian yang jujur dan kredibel sebetulnya cukup bagus. Kendati demikian akan lebih baik apabila daerah tidak sekadar meneken, tapi mengimbangi dengan aksi nyata. Sebab tanpa diimbangi dengan realisasi di lapangan, semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi kecurangan dalam UN tidak akan banyak berarti.

“Bagi saya yang terpenting adalah merealisasikan pakta kejujuran, sehingga adanya kecurangan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia bisa ditekan. Terus terang sampai dengan hari ini DIY belum ada rencana terkait dengan hal itu. Walaupun demikian DIY tetap bertekad untuk melaksanakan UN secara jujur dan transparan, sehingga predikat daerah penyelenggaraan ujian paling bersih bisa dipertahankan,” papar Ketua Penyelenggara UN DIY, Drs K Baskara Aji pada KR, Selasa (2/3).

Baskara Aji menyatakan, untuk mewujudkan penyelenggaraan UN yang jujur dan kredibel pihaknya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari memahami tentang modus-modus kecurangan yang biasa dilakukan siswa saat ujian berlangsung sampai berencana memberlakukan sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Bahkan supaya hasilnya bisa optimal, selain menjalin kerja sama dengan pihak Perguruan Tinggi (UNY), panitia pengadaan soal diminta membuat surat pernyataan.

“Sebetulnya munculnya kasus kecurangan dalam UN kalau dicermati dikarenakan siswa kurang percaya diri. Untuk itu saya tidak pernah bosan-bosan mengingatkan agar sekolah dan siswa tidak mudah terpengaruh oleh tawaran-tawaran yang belum tentu kebenarannya. Saya optimis, asalkan siswa belajar dengan baik, mereka bisa memenuhi standar kelulusan yang sudah ditentukan,” jelasnya. 

Pandangan senada diungkapkan pengamat pendidikan ST Kartono. Menurutnya, pakta kejujuran hanyalah bersifat administratif. Namun, yang lebih penting bagaimana penyelenggara serta peserta UN bisa membangun sebuah mental kejujuran.

Hal itu, katanya, bisa dimulai dari saat guru di sekolah memberikan tugas. “Jika dari awal sudah tidak berlaku jujur dalam mengerjakan tugas, misalnya mencontek, maka harus langsung diberi hukuman. Dengan begitu, secara perlahan-lahan, diharapkan dapat menumbuhkan mental siswa dalam berlaku jujur,” ungkapnya.

Pemberlakuan pakta kejujuran, lanjutnya, apabila dikatakan untuk meminimalisir kecurangan, seharusnya juga dimulai dari atas. Sebab, apabila pusat sudah bisa menerapkan kejujuran, maka akan mudah menerapkannya ke daerah.

Sementara menyoal pengawas UN yang akan menghadirkan dosen, meskipun mendukung upaya yang telah dilakukan pusat, Kartono mengatakan sedikit keberatan, sebab hal ini mengindikasikan ketidakpercayaan pusat kepada guru di sekolah. “Memang benar, kadangkala ada sekolah yang melakukan kecurangan. Namun, hal tersebut tidak bisa jika diterapkan secara general,” tuturnya. (Ria/*-4)-o


Sumber :

http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=210353&actmenu=43 Kedaulatan Rakyat

3 Maret 2010



Rekonstruksi Paradigma UAN

Oleh Abdul Gaffar

Sudah menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk mengevaluasi lebih serius lagi dalam upaya memperbaiki mekanisme pendidikan ke depan, termasuk keberadaan UAN. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa UAN telah menimbulkan pro kontra di masyarakat yang diperkuat oleh putusan MA.

Saat ini, kita tetap yakin dan optimis terhadap Depdiknas, para pakar pendidikan dan para akademisi tiada henti memutar otak untuk mencari sistem pendidikan nasional yang terbaik dan cocok bagi Indonesia saat ini. Termasuk, bagaimana menyempurnakan dan memperbaiki kelemahan-kelemahan UAN, pemerintah sebaiknya tidak memandang putusan MA sebagai sesuatu yang harus dilawan atau dipatahkan.

Sebetulnya, perbedaan pendapat antara pemerintah dan pakar pendidikan di luar pemerintah tentang UAN terletak pada paradigma dan metodologi. UAN adalah sistem standardisasi kelulusan yang baik demi menaikkan kualifikasi kelulusan siswa sekolah. 

Namun masih perlu penyempurnaan dari beberapa kelemahan mendasar sehingga dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin. Standardisasi kurikulum, guru,dan fasilitas penunjang pendidikan harus dilakukan lebih cepat lagi sebagai syarat mutlak digelarnya UAN. Selama standardisasi ini masih menjadi isu sensitif, UAN akan terus menuai resistensi di masyarakat.

Dengan demikian, energi pemerintah sebaiknya tidak dihabiskan untuk melawan keputusan MA, tapi harus disalurkan pada sosialisasi masif bahwa UAN tetap digelar pada 2010 dan status hukumnya tidak berubah meski ada putusan MA. 

Jangan sampai segala ketidakpastian di dunia pendidikan di masa lalu terulang kembali. Ketidak pastian dan ketidak jelasan dunia pendidikan utamanya UAN harus segera diakhiri agar masyarakat tidak semakin bingung.

Sebab itulah, sosialisasi dan intensitas perbaikan UAN harus segera digalakkan agar para guru, siswa dan orang tua tidak semakin bingung. Kalau Depdiknas bersikukuh menggelar UAN pada 2010, harus ada kejelasan semua implikasi hukumnya. 

Karena nantinya, sangat berdampak setelah menggelar UAN yang hasilnya dinilai tidak sah atau ilegal lantaran sudah jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MA. Hal ini mengarah pada konsekwensi logis, keputusan lembaga hukum paling tinggi tidak ada alasan untuk tidak mematuhinya. 

Kometmen Depdiknas sangat ditunggu-tunggu oleh pihak sekolah, siswa, dan orang tua, apakah UAN tahun depan yang sudah dijadwalkan benar-benar dihilangkan atau ditunda hingga ada keputusan hukum baru. 

Idealnya pelaksanaan UAN tidak hanya bermuara pada aspek intelektual (kognitif), namun juga pada aspek keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif) harus tertanam.


Rekonstruksi paradigma

Dengan alasan peningkatan kualitas sumber daya manusia, UAN dengan standar tertentu merupakan mekanisme penting dalam proses pembelajaran. UAN memang harus dijadikan salah satu standar dalam kelulusan seorang siswa. 

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengusulkan UAN harus bejalan selama enam bulan pada semester akhir. Setiap siswa diperbolehkan mengambil mata pelajaran minimal dua pelajaran dan maksimal empat pelajaran. 

Bagi siswa yang telah memenuhi standar kompetensi pada bulan berikutnya ia dapat menyelesaikan mata pelajaran yang lainnya. Bagi yang belum mencapai standar kompetensi mereka melakukan remedial, yaitu dengan pendalaman materi beberapa bulan sampai akhirnya ia dapat menyelesaikan dan meningkatan kemampuannya dengan ditandai pencapaian kompetensi pada ujian akhir.

Paradigma ini sebetulnya hampir sama dengan model TOEFL (Test of English as Foreign Language). Biasanya, orang yang tes di beberapa kesempatan untuk sampai pada target yang ditentukan oleh institusi atau lembaga. Bagi yang beberapa kali tidak lulus, ia direkomendasikan untuk melakukan kursus. Beberapa keunggulan dari paradigma ini adalah:

Pertama, mengurangi beban psikologis siswa ketika akan menghadapi UAN. Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas siswa merasa sangat tertekan ketika akan menghadapi UAN. Ujian Akhir Nasional menjadi momok, bahkan musuh yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi buruknya setiap hari. Tidak lulus UAN sepertinya menjadi hari kiamat.

Kedua, anak akan terbiasa dengan proses. Pendidikan pada hakikatnya untuk menyeimbangkan antara kemampuan kognitif dan kemampuan moral (emosional). Beberapa kesempatan yang diberikan kepadanya akan mendorong tumbuhnya kesadaran bahwa keberhasilan membutuhkan proses kerja keras. 

Siswa juga tidak merasa dirinya divonis dalam satu waktu karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kemampuannya pada kesempatan yang lain.

Ketiga, guru dan sekolah memiliki program pemberdayaan siswa secara sistematis. Dilakukannya UAN secara bertahap akan menjadikan sekolah dan guru menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan siswa. 

Dengan demikian, yang terpikir oleh kalangan guru dan penyelenggara pendidikan bukan bagaimana caranya agar siswa lulus apapun caranya. Akan tetapi, bagaimana program berkelanjutan dapat mereka susun.

Keempat, tumbuhnya cinta pada guru dan sekolahnya. Selama ini, sejumlah siswa lebih mencintai dan disiplin menghadiri kursus daripada program pembelajaran di sekolah. Walaupun kursus harus mereka lakukan pada jam-jam di luar sekolah bahkan sampai malam hari. 

Maka, UAN haruslah mengarah pada muatan lokal dan kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Harapan kita, semuga stake holder mampu menyempunakan ketimpangan-ketimpangan UAN yang selama ini dianggap masih saja menuai masalah, demi menentukan nasib pendidikan nasional ke arah yang lebih sempurna.

Penulis adalah pengamat pendidikan pada Centre for Developing Islamic Education/CDIE Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.


Sumber :

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=87926