Oleh Yudha Nata Saputra
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal di Jakarta, Senin (13/4/2009), mengemukakan, pemerintah merencanakan hasil UN 2009 ini, selain tetap digunakan sebagai alat penentu kelulusan siswa, juga akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Bahkan, ke depan pemerintah akan memberlakukan UN bukan sebagai alat seleksi masuk PTN saja tetapi juga diberlakukan juga untuk perguruan tinggi swasta (PTS). Wacana ini memang sebelumnya juga pernah dibicarakan beberapa waktu lalu oleh Forum Rektor, namun ada sedikit keragu-raguan dari pihak perguruan tinggi terhadap kualitas UN.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah lebih banyak melibatkan PTN untuk bekerja sama dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dalam pelaksanaan UN ini, termasuk dalam hal kualitas soal, pengawasan sampai pelaksanaannya. Diharapkan, dengan semakin besarnya keterlibatan PT dalam penyelenggaraan UN setidaknya bisa mengurangi keraguan itu. Namun, bukan berarti tidak ada lagi tes yang harus dijalani setiap calon mahasiswa yang akan masuk ke PTN. Tetap ada tes tetapi bentuk tesnya bukan lagi materi pelajaran UN, lebih kepada semacam tes potensi akademis (TPA) untuk melihat sampai sejauh mana calon mahasiswa mampu belajar dengan optimal di jenjang PT.
Pertanyaannya adalah sejauh mana pemerintah berkepentingan dengan hal ini? Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, rencana menjadikan hasil UN sebagai alat seleksi di PT merupakan sesuatu yang menguntungkan karena akan lebih mudah dan murah untuk dilaksanakan. Tentu ada benarnya jika dibandingkan dengan PTN harus melakukan tes materi pelajaran yang sama dengan UN seperti yang sudah-sudah dilakukan lewat jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk PTN).
Tampaknya alasan yang lebih masuk akal sepertinya bukan itu. Tetapi, lebih kepada upaya pemerintah untuk semakin menguatkan legitimasi untuk tetap dipertahankannya UN. Hal ini cukup beralasan mengingat hingga saat ini masih ada sebagian kalangan pendidik yang tetap tidak setuju diadakannya UN. Mereka berpendapat, tidak adil proses kelulusan siswa hanya ditentukan dalam beberapa hari lewat tes beberapa mata pelajaran. Kelihatannya dengan dilakukannya integrasi antara UN dan SNMPTN ini, pemerintah mengharapkan tidak akan ada lagi masyarakat yang minta supaya UN dihapuskan. Malah, sebaliknya masyarakat akan mendukung agar UN terus dipertahankan. Tentunya dengan adanya dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan UN diharapkan, akan membuat siswa menjadi semakin termotivasi untuk belajar lebih giat lagi sehingga standar kelulusan UN ke depan tidak akan terlalu banyak dipermasalahkan lagi oleh sekolah dan kalangan masyarakat pengguna jasa pendidikan ini.
Lantas, bagaimana dampak kebijakan ini terhadap PTN itu sendiri? Secara umum, hal ini tentunya akan berdampak salah satunya kepada keberadaan SNMPTN itu sendiri. Tentu kita ingat beberapa waktu lalu ada beberapa PTN yang justru ingin keluar dari SNMPTN, karena mereka lebih suka melaksanakan USM (Ujian Saringan Masuk) secara mandiri. Dengan kebijakan pemerintah yang seperti ini, yaitu menjadikan UN sebagai alat seleksi masuk PTN, sangat mungkin ke depan SNMPTN akan ditiadakan saja karena materi yang diteskan di SNMPTN relatif sama dengan UN hanya dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi karena fungsi SNMPTN sebagai alat saringan masuk, berbeda dengan UN yang berfungsi sebagai alat diagnosis kemajuan belajar siswa.
Bisa saja SNMPTN ini tetap dipertahankan. Tetapi, materi tes SNMPTN perlu diubah dari yang isinya materi pelajaran yang umumnya sudah berlangsung selama ini menjadi semacam tes potensi akademis saja. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah, karena sudah sejak dulu materi ujian saringan masuk bersama PTN ini menggunakan materi pelajaran layaknya UN. Jadi, mengubah bentuk tes SNMPTN juga bukan persoalan yang mudah juga. Itulah salah satu kendala yang muncul jika memang hasil UN akan dijadikan juga sebagai alat seleksi masuk PTN.
Kendala lainnya, walaupun materi UN dan SNMPTN sama, karena ada perbedaan kepentingan, yakni tes UN lebih berfungsi sebagai alat diagnosis kemajuan belajar siswa sedangkan tes SNMPTN berfungsi sebagai alat saringan masuk, hal ini juga yang akan menghambat dalam mengintegrasikan UN dan SNMPTN. Kesulitan akan ditemukan pada saat penyusunan soal-soal yang akan diujikan. Aspek mana yang perlu ditonjolkan fungsi tes sebagai alat diagnosis atau fungsi tes sebagai alat saringan masuk. Kondisi ini sangat perlu untuk dipertimbangkan mengingat hal itu akan berpengaruh terhadap tingkat kesukaran soal. Jika yang ditonjolkan dalam UN nanti adalah fungsi tes sebagai alat saringan seperti layaknya SNMPTN, tingkat kesukaran soal yang bersangkutan akan menjadi lebih tinggi tingkat kesukarannya.
Di lain pihak, pemerintah berencana akan terus menaikkan nilai standar kelulusan. Akibatnya, justru sekolah dan masyarakat pengguna jasa pendidikan malah akan menanggung beban yang semakin berat. Dalam kondisi seperti ini pihak yang diuntungkan justru adalah lembaga bimbingan belajar. Semakin sulit suatu tes, animo masyarakat untuk mengikutsertakan anaknya ke lembaga bimbingan belajar akan menjadi semakin besar.
Selain itu, jika UN dijadikan juga sebagai alat seleksi masuk PTN, hal ini sebenarnya akan memperkecil kesempatan masyarakat untuk masuk PTN. Jika yang bersangkutan tidak lolos persyaratan nilai UN yang nantinya ditetapkan setiap PTN, secara otomatis tidak akan bisa masuk ke PTN yang bersangkutan. Kecuali, setiap PTN nanti hanya mensyaratkan calon mahasiswanya untuk lulus UN, tidak mematok dengan rata-rata nilai berapa calon mahasiswa baru bisa masuk.
Di sisi lain, hal ini akan mengalami kendala juga bagi siswa yang tidak lulus UN tetapi lulus di ujian persamaan paket C. Karena, ke depan pemerintah sepertinya merencanakan tidak akan mengadakan UN untuk siswa para peserta paket C ini. Jika demikian, ini berarti siswa yang lulus dalam program paket C tidak akan bisa diterima di PTN karena tidak memiliki nilai UN. Padahal, pemerintah sebelumnya pernah mengatakan, pemegang ijazah paket C (ujian kesetaraan) ijazahnya sama dengan yang lulus UN, sehingga setiap perguruan tinggi sebenarnya tidak boleh menolak calon mahasiswanya yang memegang ijazah ujian kesetaraan paket C tadi.
Kendala lain yang perlu kita pertimbangkan adalah bagaimana menggarap kerja sama yang harmonis antara sekolah menengah (SMA/SMK/MA) dan perguruan tinggi, supaya tidak terjadi saling menyalahkan, karena mau tidak mau akan ada intervensi dari salah satu pihak kepada pihak lain. Hal ini juga sepertinya agak bertentangan dengan semangat kemandirian dalam pendidikan yang coba diusung lewat konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) maupun otonomi PT.
Mau tidak mau, jika UN dijadikan alat seleksi masuk PTN berpotensi terhadap soal yang semakin sukar, apakah sekolah menengah bersedia menerima dampak yang seperti ini atau PT yang justru harus berkorban dengan tidak berusaha membuat soal UN menjadi semakin sulit seperti hanya yang dilakukan dalam tes SNMPTN. Walaupun Mendiknas Bambang Sudibyo kelihatannya begitu mendukung rencana mengintegrasikan UN dan SNMPTN ini karena katanya akan memberikan manfaat yang besar, jika kita cermati tampaknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak persoalan yang perlu dipikirkan secara matang karena ada banyak pihak yang berkepentingan di dalamnya.***
Penulis, pemerhati pendidikan, dosen STT Kharisma Bandung dan alumnus Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar