Senin, 15 Maret 2010

Rekonstruksi Paradigma UAN

Oleh Abdul Gaffar

Sudah menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk mengevaluasi lebih serius lagi dalam upaya memperbaiki mekanisme pendidikan ke depan, termasuk keberadaan UAN. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa UAN telah menimbulkan pro kontra di masyarakat yang diperkuat oleh putusan MA.

Saat ini, kita tetap yakin dan optimis terhadap Depdiknas, para pakar pendidikan dan para akademisi tiada henti memutar otak untuk mencari sistem pendidikan nasional yang terbaik dan cocok bagi Indonesia saat ini. Termasuk, bagaimana menyempurnakan dan memperbaiki kelemahan-kelemahan UAN, pemerintah sebaiknya tidak memandang putusan MA sebagai sesuatu yang harus dilawan atau dipatahkan.

Sebetulnya, perbedaan pendapat antara pemerintah dan pakar pendidikan di luar pemerintah tentang UAN terletak pada paradigma dan metodologi. UAN adalah sistem standardisasi kelulusan yang baik demi menaikkan kualifikasi kelulusan siswa sekolah. 

Namun masih perlu penyempurnaan dari beberapa kelemahan mendasar sehingga dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin. Standardisasi kurikulum, guru,dan fasilitas penunjang pendidikan harus dilakukan lebih cepat lagi sebagai syarat mutlak digelarnya UAN. Selama standardisasi ini masih menjadi isu sensitif, UAN akan terus menuai resistensi di masyarakat.

Dengan demikian, energi pemerintah sebaiknya tidak dihabiskan untuk melawan keputusan MA, tapi harus disalurkan pada sosialisasi masif bahwa UAN tetap digelar pada 2010 dan status hukumnya tidak berubah meski ada putusan MA. 

Jangan sampai segala ketidakpastian di dunia pendidikan di masa lalu terulang kembali. Ketidak pastian dan ketidak jelasan dunia pendidikan utamanya UAN harus segera diakhiri agar masyarakat tidak semakin bingung.

Sebab itulah, sosialisasi dan intensitas perbaikan UAN harus segera digalakkan agar para guru, siswa dan orang tua tidak semakin bingung. Kalau Depdiknas bersikukuh menggelar UAN pada 2010, harus ada kejelasan semua implikasi hukumnya. 

Karena nantinya, sangat berdampak setelah menggelar UAN yang hasilnya dinilai tidak sah atau ilegal lantaran sudah jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MA. Hal ini mengarah pada konsekwensi logis, keputusan lembaga hukum paling tinggi tidak ada alasan untuk tidak mematuhinya. 

Kometmen Depdiknas sangat ditunggu-tunggu oleh pihak sekolah, siswa, dan orang tua, apakah UAN tahun depan yang sudah dijadwalkan benar-benar dihilangkan atau ditunda hingga ada keputusan hukum baru. 

Idealnya pelaksanaan UAN tidak hanya bermuara pada aspek intelektual (kognitif), namun juga pada aspek keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif) harus tertanam.


Rekonstruksi paradigma

Dengan alasan peningkatan kualitas sumber daya manusia, UAN dengan standar tertentu merupakan mekanisme penting dalam proses pembelajaran. UAN memang harus dijadikan salah satu standar dalam kelulusan seorang siswa. 

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengusulkan UAN harus bejalan selama enam bulan pada semester akhir. Setiap siswa diperbolehkan mengambil mata pelajaran minimal dua pelajaran dan maksimal empat pelajaran. 

Bagi siswa yang telah memenuhi standar kompetensi pada bulan berikutnya ia dapat menyelesaikan mata pelajaran yang lainnya. Bagi yang belum mencapai standar kompetensi mereka melakukan remedial, yaitu dengan pendalaman materi beberapa bulan sampai akhirnya ia dapat menyelesaikan dan meningkatan kemampuannya dengan ditandai pencapaian kompetensi pada ujian akhir.

Paradigma ini sebetulnya hampir sama dengan model TOEFL (Test of English as Foreign Language). Biasanya, orang yang tes di beberapa kesempatan untuk sampai pada target yang ditentukan oleh institusi atau lembaga. Bagi yang beberapa kali tidak lulus, ia direkomendasikan untuk melakukan kursus. Beberapa keunggulan dari paradigma ini adalah:

Pertama, mengurangi beban psikologis siswa ketika akan menghadapi UAN. Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas siswa merasa sangat tertekan ketika akan menghadapi UAN. Ujian Akhir Nasional menjadi momok, bahkan musuh yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi buruknya setiap hari. Tidak lulus UAN sepertinya menjadi hari kiamat.

Kedua, anak akan terbiasa dengan proses. Pendidikan pada hakikatnya untuk menyeimbangkan antara kemampuan kognitif dan kemampuan moral (emosional). Beberapa kesempatan yang diberikan kepadanya akan mendorong tumbuhnya kesadaran bahwa keberhasilan membutuhkan proses kerja keras. 

Siswa juga tidak merasa dirinya divonis dalam satu waktu karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kemampuannya pada kesempatan yang lain.

Ketiga, guru dan sekolah memiliki program pemberdayaan siswa secara sistematis. Dilakukannya UAN secara bertahap akan menjadikan sekolah dan guru menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan siswa. 

Dengan demikian, yang terpikir oleh kalangan guru dan penyelenggara pendidikan bukan bagaimana caranya agar siswa lulus apapun caranya. Akan tetapi, bagaimana program berkelanjutan dapat mereka susun.

Keempat, tumbuhnya cinta pada guru dan sekolahnya. Selama ini, sejumlah siswa lebih mencintai dan disiplin menghadiri kursus daripada program pembelajaran di sekolah. Walaupun kursus harus mereka lakukan pada jam-jam di luar sekolah bahkan sampai malam hari. 

Maka, UAN haruslah mengarah pada muatan lokal dan kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Harapan kita, semuga stake holder mampu menyempunakan ketimpangan-ketimpangan UAN yang selama ini dianggap masih saja menuai masalah, demi menentukan nasib pendidikan nasional ke arah yang lebih sempurna.

Penulis adalah pengamat pendidikan pada Centre for Developing Islamic Education/CDIE Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.


Sumber :

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=87926



Tidak ada komentar:

Posting Komentar