Senin, 15 Maret 2010

10 Tips untuk Membantu Kamu dalam Mengerjakan Ujian


1. Datanglah dengan persiapan yang matang dan lebih awal.
Bawalah semua alat tulis yang kamu butuhkan, seperti pensil, pulpen, kalkulator, kamus, jam (tangan), penghapus, tip ex, penggaris, dan lain-lainnya. Perlengkapan ini akan membantumu untuk tetap konsentrasi selama mengerjakan ujian.

2. Tenang dan percaya diri.
Ingatkan dirimu bahwa kamu sudah siap sedia dan akan mengerjakan ujian dengan baik.

3. Bersantailah tapi waspada.
Pilihlah kursi atau tempat yang nyaman untuk mengerjakan ujian. Pastikan kamu mendapatkan tempat yang cukup untuk mengerjakannya. Pertahankan posisi duduk tegak.

4. Preview soal-soal ujianmu dulu (bila ujian memiliki waktu tidak terbatas)
Luangkan 10% dari keseluruhan waktu ujian untuk membaca soal-soal ujian secara mendalam, tandai kata-kata kunci dan putuskan berapa waktu yang diperlukan untuk menjawab masing-masing soal. Rencanakan untuk mengerjakan soal yang mudah dulu, baru soal yang tersulit. Ketika kamu membaca soal-soal, catat juga ide-ide yang muncul yang akan digunakan sebagai jawaban.

5. Jawab soal-soal ujian secara strategis.
Mulai dengan menjawab pertanyaan mudah yang kamu ketahui, kemudian dengan soal-soal yang memiliki nilai tertinggi. Pertanyaan terakhir yang seharusnya kamu kerjakan adalah:

o soal paling sulit
o yang membutuhkan waktu lama untuk menulis jawabannya
o memiliki nilai terkecil

6. Ketika mengerjakan soal-soal pilihan ganda, ketahuilah jawaban yang harus dipilih/ditebak.
Mula-mulai, abaikan jawaban yang kamu tahu salah. Tebaklah selalu suatu pilihan jawaban ketika tidak ada hukuman pengurangan nilai, atau ketika tidak ada pilihan jawaban yang dapat kamu abaikan. Jangan menebak suatu pilihan jawaban ketika kamu tidak mengetahui secara pasti dan ketika hukuman pengurangan nilai digunakan. Karena pilihan pertama akan jawabanmu biasanya benar, jangan menggantinya kecuali bila kamu yakin akan koreksi yang kamu lakukan.

7. Ketika mengerjakan soal ujian esai, pikirkan dulu jawabannya sebelum menulis.
Buat kerangka jawaban singkat untuk esai dengan mencatat dulu beberapa ide yang ingin kamu tulis. Kemudian nomori ide-ide tersebut untuk mengurutkan mana yang hendak kamu diskusikan dulu.

8. Ketika mengerjakan soal ujian esai, jawab langsung poin utamanya.
Tulis kalimat pokokmu pada kalimat pertama. Gunakan paragraf pertama sebagai overview esaimu. Gunakan paragraf-paragraf selanjutnya untuk mendiskusikan poin-poin utama secara mendetil. Dukung poinmu dengan informasi spesifik, contoh, atau kutipan dari bacaan atau catatanmu.

9. Sisihkan 10% waktumu untuk memeriksa ulang jawabanmu.
Periksa jawabanmu; hindari keinginan untuk segera meninggalkan kelas segera setelah kamu menjawab semua soal-soal ujian. Periksa lagi bahwa kamu telah menyelesaikan semua pertanyaan. Baca ulang jawabanmu untuk memeriksa ejaan, struktur bahasa dan tanda baca. Untuk jawaban matematika, periksa bila ada kecerobohan (misalnya salah meletakkan desimal). Bandingkan jawaban matematikamu yang sebenarnya dengan penghitungan ringkas.

10. Analisa hasil ujianmu.
Setiap ujian dapat membantumu dalam mempersiapkan diri untuk ujian selanjutnya. Putuskan strategi mana yang sesuai denganmu. Tentukan strategi mana yang tidak berhasil dan ubahlah. Gunakan kertas ujian sebelumnya ketika belajar untuk ujian akhir.


Sumber :
http://www.indonesiaindonesia.com/f/40179-sepuluh-tips-saat-ujian/

Akankah UN Dihapus?

Oleh : Andryan, SH

Kontroversi tentang penghapusan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kini telah mencapai titik terang setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah.

UN dinilai cacat hukum dan pemerintah pun dilarang menyelenggarakan UN. ‘’Putusan MA adalah menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, yakni Pemerintah RI, putusan MA tersebut diambil pada 14 September lalu. Mengutip data MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono melalui Tim Advokasi Korban UN (TeKUN) dan Education Forum tersebut, diputus dengan putusan perkara Nomor Register 2596 K/PDT/2008. Majelis hakimnya adalah Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said. Kristiono adalah orang tua Indah, yang dinyatakan tidak lulus dari sekolah lantaran nilai UN tidak sesuai standar pemerintah. Keputusan MA itu menguatkan putusan PT yang juga menolak permohonan pemerintah. (Republika Online, 26/11/09).

Pertimbangannya, para tergugat, yakni Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara. Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum menggelar UN. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat UN. MA juga menilai UN melanggar Pasal 61 UU Sisdiknas, menyatakan bahwa yang berhak menentukan kelulusan adalah pihak sekolah dan bukan negara.

Akan tetapi, kini muncul keraguan apakah UN benar-benar akan dihapus sesuai amanat MA? Sebab, pemerintah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) untuk mempertahankan pelaksanaan UN. Bahkan, meskipun telah ada putusan kasasi, pelaksanaan UN masih tetap akan dilaksanakan oleh BSNP tahun 2010. Mereka pun berdalih anggaran pelaksanaan UN telah masuk APBN 2010. Lalu, apakah pemerintah tidak mengindahkan amar putusan MA yang memerintahkan penghapusan UN? Inilah ironi sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan pemerintah dalam hal ini Presiden, Wapres, Mendiknas, serta BSNP seakan bersikap superior dengan tidak melaksanakan putusan kasasi MA tersebut.

Banyak yang pihak yang mendukung penghapusan UN. Bahkan, Prof Dr Arief Rahman Hakim, selaku pengamat pendidikan, mengaku senang dengan penghapusan UN. "Sejak dulu saya tidak setuju dengan adanya UN, kata sesepuh pendidikan tersebut. Beliau juga menilai rumusan UN ada yang salah. Apalagi, katanya, UU Sisdiknas tidak menyinggung soal UN.

Hapuskan UN

Pemerintah memang memiliki tujuan baik. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemerintah memilih timing yang tidak tepat. Standar nilai yang ditetapkan pemerintah adalah upaya untuk mendongkrak prestasi pendidikan kita, dan tentu saja menunjukkan prestise bangsa kita dimata dunia, sehingga dilaksanakan sebuah ujian bernama UN. Tapi, dalam UN itu sendiri, pemerintah tidak menggali unsur kemanusiaan lebih dalam lagi. Sistem UN hanyalah sistem robot, menilai 3 tahun belajar dari 3 hari. Mempekerjakan mesin untuk menilai keringat para siswa yang telah menghabiskan tiga tahun berharga hidupnya untuk datang mencari ilmu ke sebuah sekolah. UN pun menilai manusia dari segi semu, bukan moral. Bahkan, dengan adanya UN banyak para siswa yang mengalami gangguan psikis yang sangat berat seperti stres, percobaan bunuh diri, hilangnya kepercayaan diri dan gangguan mental lainnya.

Penulis sendiri pada tahun 2004 atau tepatnya untuk yang kedua kalinya UN diselenggarakan dengan nama yang sebelumnya, UAN, pernah merasakan betapa beratnya mental yang diemban ketika akan menghadapi UN. Meskipun pada akhirnya penulis merasakan bak orang paling bahagia sedunia ketika menerima amplop yang menerangkan pernyataan kelulusan. Tapi, kebahagiaan yang penulis rasakan tidak serta merta di ikuti oleh beberapa rekan penulis yang ketika itu mengalami ketidakberuntungan. Padahal dalam segi prestasi baik tingkat sekolah maupun di luar sekolah, mereka banyak mengharumkan nama sekolah dan daerah. Tapi, apa yang mereka rasakan ketika itu? Seakan dunia telah menjadi gelap setelah menerima surat ketidaklulusannya.

Tidak hanya itu, pelaksanaan UN dapat juga memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana. Sebab, untuk mencapai nilai kelulusan, maka banyak pelajar yang akan menempuh berbagai cara untuk dapat meraih kelulusan meskipun dilalui dengan cara yang salah. UN memang selalu diliputi oleh kecurangan baik yang dilakukan oleh seorang pelajar maupun oleh pihak pendidik seperti kepala sekolah dan guru.

Bukankah tindakan kecurangan tersebut telah menjadi suatu tindak pidana? Inilah potret dari hasil yang ingin diharapkan oleh pemerintah. Bahkan tindakan untuk melakukan kecurangan UN telah memasuki tingkat perencanaan dan pengorganisasian. Boleh dikatakan, apa yang telah dilakukan oleh pelajar dan pendidik tersebut sebenarnya jauh dari apa yang diinginkan. Mereka tentunya tidak ingin mengotori suatu wadah pendidikan dengan tindakan kecurangan. Tapi, meskipun suatu sekolah dapat kategori "sekolah unggulan", lalu pada pelaksanaan UN, siswanya banyak yang tidak lulus. Apakah lantas predikat sekolah unggulan masih melekat di sekolah tersebut?, Memang, untuk mendapatkan hasil kelulusan dari UN adalah dengan bekerja keras dan mengikuti bimbingan belajar secara komprehensif. Tapi, permasalahan kembali muncul, apakah semua siswa dapat mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah dengan biaya yang relatif mahal dan mendapatkan buku-buku pelajaran yang berkualitas, sementara nilai standar UN yang ditetapkan pemerintah semuanya sama untuk seluruh Indonesia.

Sebenarnya, apa yang diajarkan dari UN hanyalah pendidikan tanpa ilmu pengetahuan, karena yang ada dipikiran hanyalah bagaimana cara lulus dengan menembus angka yang telah ditetapkan pemerintah untuk kelulusan. Menjelang UN, materi pun dikejar, murid-murid fokus pada pelajaran, akan tetapi konsep ini tidak diterima penuh karena harus latihan dan drilling soal yang berbeda-beda dan memprediksikan apa yang tidak pasti. Sekarang, untuk apa masuk sekolah selama 3 tahun jika penentuannya hanya 3 hari.

Masalah UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional bukan kali ini saja muncul. Sejak dulu, kita mengenal Ujian Negara, lalu dihentikan. Kemudian kita mengenal Ebtanas, lalu dihentikan pula. Lantas ada Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang berganti nama menjadi UN (Ujian Nasional) meskipun metodologinya tetap sama dengan yang sebelumnya. Kebijakan pemerintah sejak ujian negara, Ebtanas, UAN, dan UN itu menunjukkan betapa semua bentuk ujian itu selalu bermasalah dan tidak akan pernah bisa menjadi alat untuk standardisasi pendidikan nasional. Lalu apa tidak ada alat ukur lain?

Di tahun 1978, pemerintah Orde Baru dengan Menteri P & K, Daoed Joesoef pernah melakukan sebuah Test Diagnostik pendidikan secara nasional. Meskipun data yang penulis peroleh agak samar, tapi Tes Diagnostik itu merupakan upaya mengukur standar tingkat penyerapan kurikulum yang sedang berjalan. Dalam Tes Diagnostik, tidak seluruh sekolah diikutsertakan. Dengan teknik sampling, pemerintah melakukan tes untuk standardisasi pendidikan nasional itu, dan itu digunakan untuk merumuskan kebijakan pendidikan ke depan. Alat ukur Tes Diagnostik relevan untuk mengukur standar pendidikan nasional. Tes itu juga tidak menentukan kelulusan siswa hanya berdasarkan 2-3 biji mata pelajaran. Artinya, kalau tujuan UN semata untuk mengukur Standardisasi Pendidikan Nasional, maka Tes Diagnostik sudah sangat adequate. Dan itu bisa dilakukan dengan biaya yang lebih hemat.

Penulis dan tentunya banyak pihak berharap agar pelaksanaan UN benar-benar ditiadakan, hal ini tentu saja bukan berarti kita tidak ingin negara dan bangsa kita kalah saing dengan bangsa lain. Tapi, alangkah bijaknya jika pemerintah dapat menempuh metode pembelajaran yang lebih menyentuh nati nurani dengan selalu meningkatkan kualitas pengajaran baik kepada para siswa maupun kepada guru. Semoga, pemerintah dapat mengintropeksi diri dengan melaksanakan putusan kasasi MA yakni menghapus UN. ***

Penulis adalah Peminat Hukum, Politik, dan Sosial. E-mail ( andryan_ian@yahoo.com)


Sumber :

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37082:akankah-un-dihapus-&catid=497:08-desember-2009&Itemid=223




Perlu Perhatian Penuh Ortu Dalam UN

Perhatian penuh dari orang tua sangat diperlukan untuk mensupport siswa dalam menghadapi Ujian Nasional pada pertengahan Bulan Maret 2010 ini. Hal itu dikemukakan oleh Pakar Psikologi dari UMK Widjanarko.

Dia menuturkan, dengan naiknya standart minimal kelulusan siswa pada tahun ini, yakni 5,50 pastilah sangat membebani siswa, apalagi ditambah dengan jumlah mata pelajaran yang berjumlah 6 mata pelajaran. "Dalam UN ini orang tua haruslah berperan aktif untuk ikut mendukung anaknya dalam bentuk konkrit, bukan hanya mendukung saja tanpa adanya tindakan nyata terhadap anaknya"ujarnya.

Jangan sampai seorang anak menanggung beban UN sendirian, karena bagaimanapun juga support dari lingkungan sekitar, khususnya orang tua sangat dibutuhkan dan diperlukan. "Orang tua harus mengetahui bagaimana caranya anak agar bisa belajar dengan serius dan selalu membekali anaknya bahwa UN bukanlah akhir dari segala-galanya jadi tidak perlu takut apabila tidak lulus"ungkapnya.

Namun, Sering kali orang tua merasa tidak sempat untuk memantau anaknya, dengan alasan bekerja, apalagi di Kabupaten Kudus yang mayoritasnya pekerja pabrik sehingga jarang memantau anak-anaknya. "Sesibuk-sibuknya orang tua, harus tetap memantau anaknya dalam menghadapi UN, lagian sekarang zaman sudah canggih, bisa menggunakan alat komunikasi dengan mudah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk membiarkan anak berjuang sendirian"tambahnya.

Widjanarko menambahkan, yang terpenting adalah mengintensifkan komunikasi antara orang tua dan anak, karena dengan begitu akan tercipta suasana yang kondusif, sehingga orang tua akan mengetahui cara belajar anak yang efektif, karena cara belajar tiap-tiap anak berbeda."Dengan begitu siswa tidak merasa mempunyai beban, namun juga tidak bisa seenaknya sendiri"ungkapnya.

Selain peran orang tua, dalam mempersiapkan UN nanti adalah mempertahankan pola dan strategi belajar siswa yang sudah dikasih dari sekolahannya masing-masing. "Karena waktunya sudah mepet, siswa harus benar-benar mempertahankan pola belajar yang sudah ada saat ini, bahkan harus ditingkatkan, namun tetap dalam batas normal, artinya tidak perlu memforsir tubuh belajar dari pagi-malam, karena tubuh juga punya hak untuk istirahat"ujarnya.

Sedangkan saat ditanya pendapatnya mengenai tingkat kelulusan siswa minimal 5,50, Widjanarko mengaku tidak setuju dengan adanya nilai minimal tersebut, pihaknya lebih memilih untuk dibedakan antar regional atau rayon mengenai soal-soal UN. "Sebenarnya nilai minimal 5,50 tidak masalah asalkan soalnya antar daerah atau provinsi ada perbedaan, karena kondisi daerah yang satu dengan yang lain berbeda, untuk itu juga harus ada pembedaan dalam soalnya"tegasnya.(mg4)


Sumber :

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=146311

5 Maret 2010


Rapor Kejujuran Unas Jatim

Oleh : Biyanto

BALITBANG Kementerian Pendidikan Nasional telah memublikasikan evaluasi tingkat kejujuran sekolah dalam penyelenggaraan ujian nasional (unas) tahun ajaran 2008/2009. Di antara 33 provinsi yang disurvei, ternyata hanya ditemukan satu provinsi yang memiliki tingkat kejujuran di atas 50 persen. Provinsi tersebut adalah Jogjakarta.

Di provinsi itu, tingkat kejujuran sekolah mencapai 70,24 persen. Di 32 provinsi lainnya, tingkat kejujuran jauh di bawah 50 persen. Bahkan, Provinsi Gorontalo dikategorikan dalam daftar hitam karena menduduki peringkat paling tidak jujur.

Rapor kejujuran unas untuk sekolah-sekolah di Jatim juga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Dikatakan, di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya ada tujuh daerah yang memiliki tingkat kejujuran tinggi. Tujuh kabupaten/kota itu adalah Kota Malang, Kota Madiun, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Pasuruan, dan Kota Batu. Jika dibuat rata-rata, tingkat kejujuran tujuh daerah tersebut melebihi 50 persen.

Bahkan, Kota Blitar berhasil mencatat rekor tingkat kejujuran hingga mencapai 77,78 persen. Data rapor kejujuran unas menunjukkan bahwa masih ada 31 kabupaten/kota di Jatim yang berkategori abu-abu alias tidak jujur. Terlepas dari akurasi metodologi yang digunakan, rasanya data Balitbang Kemendiknas tersebut patut menjadi perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan kredibilitas penyelenggaraan unas.

Untuk menyongsong penyelenggaraan unas tahun ajaran 2009/2010, rasanya kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dinas pendidikan, dan pemerintah perlu didorong untuk meningkatkan kejujuran. Jika diperlukan, pihak -pihak yang berkepentingan dengan hasil unas, terutama siswa dan sekolah, harus diajak berikrar agar berperilaku jujur saat mengikuti unas. Dengan demikian, penyelenggaraan unas tahun ini jauh lebih kredibel.

Sebab, publik selama ini telanjur menempatkan unas sebagai salah satu indikator sekolah bermutu. Karena itu, akan sangat ironis jika hasil unas yang dipercaya tersebut ternyata masih banyak mengandung budaya ketidakjujuran akademik (academic dishonesty). Berangkat dari penyelenggaraan unas yang kurang kredibel itulah, forum rektor yang beranggota para rektor perguruan tinggi negeri menolak usul Mendiknas untuk mengintegrasikan hasil unas dengan sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB).

Perlu Ikrar Kejujuran

Pemerintah telah menetapkan jadwal unas secara nasional pada 22-26 Maret (SMA/MA/SMK) dan 29 Maret-1 April (SMP/MTs/SMPLB). Sementara itu, siswa kelas akhir SD/MI/SDLB akan mengikuti ujian penentuan kelulusan bernama ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Itu berarti tidak lama lagi para siswa, orang tua, guru, dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil unas akan diselimuti perasaan khawatir dan ''deg-degan''. Sebab, unas masih dianggap segala-galanya. Tegasnya, kelulusan siswa akan ditentukan dalam beberapa hari melalui ujian mata-mata pelajaran yang di-unas-kan.

Jadwal pelaksanaan unas tahun ini memang lebih awal dari tahun sebelumnya karena ada ujian ulangan bagi yang tidak lulus. Itu berarti para siswa hanya memiliki waktu efektif sekitar dua bulan untuk mempersiapkan diri. Tentu, mepetnya waktu persiapan tersebut bisa menambah beban pihak-pihak yang selama ini sangat berkepentingan dengan hasil unas. Meski demikian, untuk kepentingan menjaga kredibilitas unas, rasanya ikrar kejujuran saat mengikuti unas perlu terus digelorakan.

Berdasar data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim, peserta unas tahun ini mencapai 1.517.693 siswa. Rinciannya, 349.129 siswa SMA/MA/SMK, 543.605 siswa SMP/MTs/SMPLB, dan 624.959 siswa SD/MI/SDLB. Mereka berasal dari 34.395 sekolah di Jatim. Rinciannya, 25.435 sekolah dasar, 5.863 sekolah menengah pertama, dan 3.097 sekolah menengah atas.

Untuk meningkatkan kejujuran saat mengikuti unas, rasanya para siswa perlu diberi semangat dan dorongan yang membesarkan hati (encouragement). Hal itu sangat penting. Sebab, berdasar pengalaman tahun sebelumnya, unas selalu menghadirkan beban bagi siswa. Bahkan, pimpinan sekolah, guru, orang tua, dan kepala dinas pendidikan akan merasakan beban yang sama.

Yang lebih aneh, banyak juga kepentingan di luar pendidikan yang turut bertaruh dengan tingkat kelulusan siswa. Karena itu, tidak mengherankan jika pejabat publik di daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota juga khawatir atas tingkat kelulusan unas.

Dalam situasi yang penuh tekanan inilah, dorongan dan semangat bagi siswa, pimpinan sekolah, dan guru, penting diberikan. Mereka harus diyakinkan bahwa ujian merupakan salah satu bentuk evaluasi eksternal terhadap proses belajar-mengajar (PBM).

Beban berat yang dirasakan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil unas dalam tingkat tertentu jelas berpotensi mendorong orang berperilaku tidak jujur. Apalagi, Pemerintah Provinsi Jatim melalui Wakil Gubernur Saifullah Yusuf menargetkan tingkat kelulusan UN harus mencapai 99 persen. Target pejabat publik terhadap kelulusan unas ini biasanya dipahami kepala dinas pendidikan di daerah sebagai perintah untuk menyukseskan unas. Tentu tidak hanya sukses dalam penyelenggaraan, tapi juga tingkat kelulusan.

Karena itu, kepala dinas pendidikan pun memerintah kepala sekolah untuk menyukseskan unas. Selanjutnya, kepala sekolah memerintah guru-guru mata pelajaran yang di-unas-kan berusaha keras agar siswa lulus unas. Dapat dipahami jika pejabat publik sangat berkepentingan dengan tingkat kelulusan unas. Sebab, tingginya angka kelulusan bisa digunakan memperbaiki citra dirinya.

Yang sering tidak disadari, bermula dari tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil akhir unas itulah, perilaku tidak jujur di sekolah muncul. Dengan alasan menyukseskan unas, biasanya sekolah membentuk tim sukses. Pada saatnya, tim sukses itulah yang banyak bermain untuk membantu siswa mengerjakan soal-soal unas. Dalam kultur seperti ini, dapat dibayangkan kredibilitas penyelenggara unas.

Berkaitan dengan problem itulah, rasanya kepentingan di luar pendidikan, termasuk kepentingan politik pejabat publik, perlu dikurangi agar sekolah dan siswa menjalani unas dengan tenang dan penuh percaya diri. Para siswa perlu diyakinkan bahwa kejujuran itu jauh lebih penting dari sekadar nilai yang diperoleh melalui unas.

Bahkan, kejujuran akademik semestinya tidak hanya dilakukan saat unas. Unsur-unsur di sekolah sejak awal seharusnya membangun kultur akademik yang jujur. Nilai-nilai kejujuran itulah yang sesungguhnya dapat menunjukkan karakter seseorang. Bukankah pendidikan itu seharusnya diorientasikan untuk mencetak individu-individu yang berkarakter kuat? Bermodal karakter kuat itu, kita akan melihat output lembaga pendidikan sebagai pribadi-pribadi yang memiliki daya saing tinggi. (*/mik)

Dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen PWM Jatim


Sumber :

http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=120835

6 Maret 2010




Sulitnya Lulus UN

BISA jadi saat ini masa paling mendebarkan bagi para siswa. Terutama mereka yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional (UN), baik tingkat SMP maupun SMA.

UN yang akan digelar pada Maret, menjadi momok bagi siswa. Sebuah program standarisasi pendidikan yang dibuat pemerintah itu, memang begitu menentukan bagi nasib siswa melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. Hasil dari proses pendidikan selama tiga tahun, akan ditentukan oleh tiga hari atau selama UN itu digelar.

Tak heran jika semua sekolah berikut siswanya, seratus persen menyiapkan energinya menghadapi UN. Try out, pengayaan, bimbingan belajar dan apa pun istilahnya ditempuh guna mencapai hasil maksimal saat UN.

Hasilnya? Dari dua try out yang digelar terutama untuk Banjarmasin dan Kalsel, hasilnya masih jauh dari harapan. Pada try out tingkat SMA se-Banjarmasin beberapa waktu lalu, bisa dikatakan hasilnya jeblok. Banyak sekolah nilai kelulusan siswanya di bawah 10 persen.

Kemudian ketika try out SMA tingkat Kalsel digelar oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kalsel, hasilnya juga kurang lebih sama. Berdasarkan hasil akhir, tingkat kelulusan tertinggi diraih Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dengan angka 70 persen, kemudian Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang meraih 65 persen. Banjarmasin yang idealnya memiliki nilai kelulusan tertinggi, ternyata cuma menempati posisi ketiga dengan nilai kelulusan 50 persen.

Yang lebih memprihatinkan menimpa Kabupaten Kotabaru. Untuk mata pelajaran IPA dan IPS, tingkat kelulusan siswa daerah itu hanya dua persen. Malah jika dilihat per sekolah, di Banjarmasin ada sekolah untuk jurusan bahasa yang nilai kelulusannya nol persen alias semua siswanya tidak lulus. Demikian juga di Kabupaten Tapin. Ada sekolah, untuk mata ajaran IPS kelulusannya juga nol persen.

Jika melihat hasil itu, siapa pun, guru, siswa maupun orangtua pasti terhenyak. Meski try out hanyalah sebuah tes percobaan, namun hasilnya bisa memberi gambaran hasil UN. Itu karena soal yang diujikan memiliki standar sama dengan UN.

Hasil try out itu juga menunjukkan kritikan terhadap penyelenggaraan UN ada benarnya. Minimal memunculkan sebuah realita, standarisasi mutu pendidikan secara nasional masih jauh dari harapan yang dikonsepsikan.

Penyebabnya, mutu pendidikan memang masih timpang. Jawa dan luar Jawa, kota dan pelosok, kondisi dan mutu pendidikannya masih sangat timpang. Jadi, rasanya kurang fair menstandarkan mutu pendidikan jika kondisi proses belajar mengajar dan fasilitas pendukungnya timpang. Ibarat lomba lari, sangat sulit peserta lomba mencapai garis finish bersamaan apabila titik startnya berbeda-beda.

Sebagai sebuah kritik, mestinya UN tak dilakukan serentak. Artinya, proses standarisasi pendidikan seharusnya dilakukan bertahap dimulai dari masing-masing daerah, regional kemudian baru tingkat nasional.

Untuk mencapai standarisasi nasional itu, fasilitas maupun SDM pendukung pendidikan seperti pengajar berkualitas juga harus diseragamkan secara nasional. Jika semua itu telah siap, barulah standarisasi mutu pendidikan nasional dilakukan secara ajeg.

Tidak seperti sekarang, UN terkesan hanyalah sebuah ‘ambisi’ menghasilkan output pendidikan yang berstandar nasional namun mengabaikan proses dan fasilitas belajar yang justru seharusnya lebih dulu distandarisasi. (*)

Sumber:

http://forum.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/36232/sulitnya-lulus-un

24 Februari 2010


Penekanan Pakta Kejujuran UN : Harus Diimbangi dengan Aksi Nyata

Adanya kebijakan pemerintah agar daerah meneken pakta kejujuran soal Ujian Nasional (UN) untuk menjamin pelaksanaan ujian yang jujur dan kredibel sebetulnya cukup bagus. Kendati demikian akan lebih baik apabila daerah tidak sekadar meneken, tapi mengimbangi dengan aksi nyata. Sebab tanpa diimbangi dengan realisasi di lapangan, semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi kecurangan dalam UN tidak akan banyak berarti.

“Bagi saya yang terpenting adalah merealisasikan pakta kejujuran, sehingga adanya kecurangan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia bisa ditekan. Terus terang sampai dengan hari ini DIY belum ada rencana terkait dengan hal itu. Walaupun demikian DIY tetap bertekad untuk melaksanakan UN secara jujur dan transparan, sehingga predikat daerah penyelenggaraan ujian paling bersih bisa dipertahankan,” papar Ketua Penyelenggara UN DIY, Drs K Baskara Aji pada KR, Selasa (2/3).

Baskara Aji menyatakan, untuk mewujudkan penyelenggaraan UN yang jujur dan kredibel pihaknya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari memahami tentang modus-modus kecurangan yang biasa dilakukan siswa saat ujian berlangsung sampai berencana memberlakukan sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Bahkan supaya hasilnya bisa optimal, selain menjalin kerja sama dengan pihak Perguruan Tinggi (UNY), panitia pengadaan soal diminta membuat surat pernyataan.

“Sebetulnya munculnya kasus kecurangan dalam UN kalau dicermati dikarenakan siswa kurang percaya diri. Untuk itu saya tidak pernah bosan-bosan mengingatkan agar sekolah dan siswa tidak mudah terpengaruh oleh tawaran-tawaran yang belum tentu kebenarannya. Saya optimis, asalkan siswa belajar dengan baik, mereka bisa memenuhi standar kelulusan yang sudah ditentukan,” jelasnya. 

Pandangan senada diungkapkan pengamat pendidikan ST Kartono. Menurutnya, pakta kejujuran hanyalah bersifat administratif. Namun, yang lebih penting bagaimana penyelenggara serta peserta UN bisa membangun sebuah mental kejujuran.

Hal itu, katanya, bisa dimulai dari saat guru di sekolah memberikan tugas. “Jika dari awal sudah tidak berlaku jujur dalam mengerjakan tugas, misalnya mencontek, maka harus langsung diberi hukuman. Dengan begitu, secara perlahan-lahan, diharapkan dapat menumbuhkan mental siswa dalam berlaku jujur,” ungkapnya.

Pemberlakuan pakta kejujuran, lanjutnya, apabila dikatakan untuk meminimalisir kecurangan, seharusnya juga dimulai dari atas. Sebab, apabila pusat sudah bisa menerapkan kejujuran, maka akan mudah menerapkannya ke daerah.

Sementara menyoal pengawas UN yang akan menghadirkan dosen, meskipun mendukung upaya yang telah dilakukan pusat, Kartono mengatakan sedikit keberatan, sebab hal ini mengindikasikan ketidakpercayaan pusat kepada guru di sekolah. “Memang benar, kadangkala ada sekolah yang melakukan kecurangan. Namun, hal tersebut tidak bisa jika diterapkan secara general,” tuturnya. (Ria/*-4)-o


Sumber :

http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=210353&actmenu=43 Kedaulatan Rakyat

3 Maret 2010



Rekonstruksi Paradigma UAN

Oleh Abdul Gaffar

Sudah menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk mengevaluasi lebih serius lagi dalam upaya memperbaiki mekanisme pendidikan ke depan, termasuk keberadaan UAN. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa UAN telah menimbulkan pro kontra di masyarakat yang diperkuat oleh putusan MA.

Saat ini, kita tetap yakin dan optimis terhadap Depdiknas, para pakar pendidikan dan para akademisi tiada henti memutar otak untuk mencari sistem pendidikan nasional yang terbaik dan cocok bagi Indonesia saat ini. Termasuk, bagaimana menyempurnakan dan memperbaiki kelemahan-kelemahan UAN, pemerintah sebaiknya tidak memandang putusan MA sebagai sesuatu yang harus dilawan atau dipatahkan.

Sebetulnya, perbedaan pendapat antara pemerintah dan pakar pendidikan di luar pemerintah tentang UAN terletak pada paradigma dan metodologi. UAN adalah sistem standardisasi kelulusan yang baik demi menaikkan kualifikasi kelulusan siswa sekolah. 

Namun masih perlu penyempurnaan dari beberapa kelemahan mendasar sehingga dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin. Standardisasi kurikulum, guru,dan fasilitas penunjang pendidikan harus dilakukan lebih cepat lagi sebagai syarat mutlak digelarnya UAN. Selama standardisasi ini masih menjadi isu sensitif, UAN akan terus menuai resistensi di masyarakat.

Dengan demikian, energi pemerintah sebaiknya tidak dihabiskan untuk melawan keputusan MA, tapi harus disalurkan pada sosialisasi masif bahwa UAN tetap digelar pada 2010 dan status hukumnya tidak berubah meski ada putusan MA. 

Jangan sampai segala ketidakpastian di dunia pendidikan di masa lalu terulang kembali. Ketidak pastian dan ketidak jelasan dunia pendidikan utamanya UAN harus segera diakhiri agar masyarakat tidak semakin bingung.

Sebab itulah, sosialisasi dan intensitas perbaikan UAN harus segera digalakkan agar para guru, siswa dan orang tua tidak semakin bingung. Kalau Depdiknas bersikukuh menggelar UAN pada 2010, harus ada kejelasan semua implikasi hukumnya. 

Karena nantinya, sangat berdampak setelah menggelar UAN yang hasilnya dinilai tidak sah atau ilegal lantaran sudah jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MA. Hal ini mengarah pada konsekwensi logis, keputusan lembaga hukum paling tinggi tidak ada alasan untuk tidak mematuhinya. 

Kometmen Depdiknas sangat ditunggu-tunggu oleh pihak sekolah, siswa, dan orang tua, apakah UAN tahun depan yang sudah dijadwalkan benar-benar dihilangkan atau ditunda hingga ada keputusan hukum baru. 

Idealnya pelaksanaan UAN tidak hanya bermuara pada aspek intelektual (kognitif), namun juga pada aspek keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif) harus tertanam.


Rekonstruksi paradigma

Dengan alasan peningkatan kualitas sumber daya manusia, UAN dengan standar tertentu merupakan mekanisme penting dalam proses pembelajaran. UAN memang harus dijadikan salah satu standar dalam kelulusan seorang siswa. 

Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mengusulkan UAN harus bejalan selama enam bulan pada semester akhir. Setiap siswa diperbolehkan mengambil mata pelajaran minimal dua pelajaran dan maksimal empat pelajaran. 

Bagi siswa yang telah memenuhi standar kompetensi pada bulan berikutnya ia dapat menyelesaikan mata pelajaran yang lainnya. Bagi yang belum mencapai standar kompetensi mereka melakukan remedial, yaitu dengan pendalaman materi beberapa bulan sampai akhirnya ia dapat menyelesaikan dan meningkatan kemampuannya dengan ditandai pencapaian kompetensi pada ujian akhir.

Paradigma ini sebetulnya hampir sama dengan model TOEFL (Test of English as Foreign Language). Biasanya, orang yang tes di beberapa kesempatan untuk sampai pada target yang ditentukan oleh institusi atau lembaga. Bagi yang beberapa kali tidak lulus, ia direkomendasikan untuk melakukan kursus. Beberapa keunggulan dari paradigma ini adalah:

Pertama, mengurangi beban psikologis siswa ketika akan menghadapi UAN. Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas siswa merasa sangat tertekan ketika akan menghadapi UAN. Ujian Akhir Nasional menjadi momok, bahkan musuh yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi buruknya setiap hari. Tidak lulus UAN sepertinya menjadi hari kiamat.

Kedua, anak akan terbiasa dengan proses. Pendidikan pada hakikatnya untuk menyeimbangkan antara kemampuan kognitif dan kemampuan moral (emosional). Beberapa kesempatan yang diberikan kepadanya akan mendorong tumbuhnya kesadaran bahwa keberhasilan membutuhkan proses kerja keras. 

Siswa juga tidak merasa dirinya divonis dalam satu waktu karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kemampuannya pada kesempatan yang lain.

Ketiga, guru dan sekolah memiliki program pemberdayaan siswa secara sistematis. Dilakukannya UAN secara bertahap akan menjadikan sekolah dan guru menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan siswa. 

Dengan demikian, yang terpikir oleh kalangan guru dan penyelenggara pendidikan bukan bagaimana caranya agar siswa lulus apapun caranya. Akan tetapi, bagaimana program berkelanjutan dapat mereka susun.

Keempat, tumbuhnya cinta pada guru dan sekolahnya. Selama ini, sejumlah siswa lebih mencintai dan disiplin menghadiri kursus daripada program pembelajaran di sekolah. Walaupun kursus harus mereka lakukan pada jam-jam di luar sekolah bahkan sampai malam hari. 

Maka, UAN haruslah mengarah pada muatan lokal dan kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Harapan kita, semuga stake holder mampu menyempunakan ketimpangan-ketimpangan UAN yang selama ini dianggap masih saja menuai masalah, demi menentukan nasib pendidikan nasional ke arah yang lebih sempurna.

Penulis adalah pengamat pendidikan pada Centre for Developing Islamic Education/CDIE Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.


Sumber :

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=87926



Integrasi UN & SMNPTN

Oleh Yudha Nata Saputra

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal di Jakarta, Senin (13/4/2009), mengemukakan, pemerintah merencanakan hasil UN 2009 ini, selain tetap digunakan sebagai alat penentu kelulusan siswa, juga akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Bahkan, ke depan pemerintah akan memberlakukan UN bukan sebagai alat seleksi masuk PTN saja tetapi juga diberlakukan juga untuk perguruan tinggi swasta (PTS). Wacana ini memang sebelumnya juga pernah dibicarakan beberapa waktu lalu oleh Forum Rektor, namun ada sedikit keragu-raguan dari pihak perguruan tinggi terhadap kualitas UN.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah lebih banyak melibatkan PTN untuk bekerja sama dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dalam pelaksanaan UN ini, termasuk dalam hal kualitas soal, pengawasan sampai pelaksanaannya. Diharapkan, dengan semakin besarnya keterlibatan PT dalam penyelenggaraan UN setidaknya bisa mengurangi keraguan itu. Namun, bukan berarti tidak ada lagi tes yang harus dijalani setiap calon mahasiswa yang akan masuk ke PTN. Tetap ada tes tetapi bentuk tesnya bukan lagi materi pelajaran UN, lebih kepada semacam tes potensi akademis (TPA) untuk melihat sampai sejauh mana calon mahasiswa mampu belajar dengan optimal di jenjang PT.

Pertanyaannya adalah sejauh mana pemerintah berkepentingan dengan hal ini? Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, rencana menjadikan hasil UN sebagai alat seleksi di PT merupakan sesuatu yang menguntungkan karena akan lebih mudah dan murah untuk dilaksanakan. Tentu ada benarnya jika dibandingkan dengan PTN harus melakukan tes materi pelajaran yang sama dengan UN seperti yang sudah-sudah dilakukan lewat jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk PTN).

Tampaknya alasan yang lebih masuk akal sepertinya bukan itu. Tetapi, lebih kepada upaya pemerintah untuk semakin menguatkan legitimasi untuk tetap dipertahankannya UN. Hal ini cukup beralasan mengingat hingga saat ini masih ada sebagian kalangan pendidik yang tetap tidak setuju diadakannya UN. Mereka berpendapat, tidak adil proses kelulusan siswa hanya ditentukan dalam beberapa hari lewat tes beberapa mata pelajaran. Kelihatannya dengan dilakukannya integrasi antara UN dan SNMPTN ini, pemerintah mengharapkan tidak akan ada lagi masyarakat yang minta supaya UN dihapuskan. Malah, sebaliknya masyarakat akan mendukung agar UN terus dipertahankan. Tentunya dengan adanya dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan UN diharapkan, akan membuat siswa menjadi semakin termotivasi untuk belajar lebih giat lagi sehingga standar kelulusan UN ke depan tidak akan terlalu banyak dipermasalahkan lagi oleh sekolah dan kalangan masyarakat pengguna jasa pendidikan ini.

Lantas, bagaimana dampak kebijakan ini terhadap PTN itu sendiri? Secara umum, hal ini tentunya akan berdampak salah satunya kepada keberadaan SNMPTN itu sendiri. Tentu kita ingat beberapa waktu lalu ada beberapa PTN yang justru ingin keluar dari SNMPTN, karena mereka lebih suka melaksanakan USM (Ujian Saringan Masuk) secara mandiri. Dengan kebijakan pemerintah yang seperti ini, yaitu menjadikan UN sebagai alat seleksi masuk PTN, sangat mungkin ke depan SNMPTN akan ditiadakan saja karena materi yang diteskan di SNMPTN relatif sama dengan UN hanya dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi karena fungsi SNMPTN sebagai alat saringan masuk, berbeda dengan UN yang berfungsi sebagai alat diagnosis kemajuan belajar siswa.

Bisa saja SNMPTN ini tetap dipertahankan. Tetapi, materi tes SNMPTN perlu diubah dari yang isinya materi pelajaran yang umumnya sudah berlangsung selama ini menjadi semacam tes potensi akademis saja. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah, karena sudah sejak dulu materi ujian saringan masuk bersama PTN ini menggunakan materi pelajaran layaknya UN. Jadi, mengubah bentuk tes SNMPTN juga bukan persoalan yang mudah juga. Itulah salah satu kendala yang muncul jika memang hasil UN akan dijadikan juga sebagai alat seleksi masuk PTN.

Kendala lainnya, walaupun materi UN dan SNMPTN sama, karena ada perbedaan kepentingan, yakni tes UN lebih berfungsi sebagai alat diagnosis kemajuan belajar siswa sedangkan tes SNMPTN berfungsi sebagai alat saringan masuk, hal ini juga yang akan menghambat dalam mengintegrasikan UN dan SNMPTN. Kesulitan akan ditemukan pada saat penyusunan soal-soal yang akan diujikan. Aspek mana yang perlu ditonjolkan fungsi tes sebagai alat diagnosis atau fungsi tes sebagai alat saringan masuk. Kondisi ini sangat perlu untuk dipertimbangkan mengingat hal itu akan berpengaruh terhadap tingkat kesukaran soal. Jika yang ditonjolkan dalam UN nanti adalah fungsi tes sebagai alat saringan seperti layaknya SNMPTN, tingkat kesukaran soal yang bersangkutan akan menjadi lebih tinggi tingkat kesukarannya.

Di lain pihak, pemerintah berencana akan terus menaikkan nilai standar kelulusan. Akibatnya, justru sekolah dan masyarakat pengguna jasa pendidikan malah akan menanggung beban yang semakin berat. Dalam kondisi seperti ini pihak yang diuntungkan justru adalah lembaga bimbingan belajar. Semakin sulit suatu tes, animo masyarakat untuk mengikutsertakan anaknya ke lembaga bimbingan belajar akan menjadi semakin besar.

Selain itu, jika UN dijadikan juga sebagai alat seleksi masuk PTN, hal ini sebenarnya akan memperkecil kesempatan masyarakat untuk masuk PTN. Jika yang bersangkutan tidak lolos persyaratan nilai UN yang nantinya ditetapkan setiap PTN, secara otomatis tidak akan bisa masuk ke PTN yang bersangkutan. Kecuali, setiap PTN nanti hanya mensyaratkan calon mahasiswanya untuk lulus UN, tidak mematok dengan rata-rata nilai berapa calon mahasiswa baru bisa masuk.

Di sisi lain, hal ini akan mengalami kendala juga bagi siswa yang tidak lulus UN tetapi lulus di ujian persamaan paket C. Karena, ke depan pemerintah sepertinya merencanakan tidak akan mengadakan UN untuk siswa para peserta paket C ini. Jika demikian, ini berarti siswa yang lulus dalam program paket C tidak akan bisa diterima di PTN karena tidak memiliki nilai UN. Padahal, pemerintah sebelumnya pernah mengatakan, pemegang ijazah paket C (ujian kesetaraan) ijazahnya sama dengan yang lulus UN, sehingga setiap perguruan tinggi sebenarnya tidak boleh menolak calon mahasiswanya yang memegang ijazah ujian kesetaraan paket C tadi.

Kendala lain yang perlu kita pertimbangkan adalah bagaimana menggarap kerja sama yang harmonis antara sekolah menengah (SMA/SMK/MA) dan perguruan tinggi, supaya tidak terjadi saling menyalahkan, karena mau tidak mau akan ada intervensi dari salah satu pihak kepada pihak lain. Hal ini juga sepertinya agak bertentangan dengan semangat kemandirian dalam pendidikan yang coba diusung lewat konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) maupun otonomi PT.

Mau tidak mau, jika UN dijadikan alat seleksi masuk PTN berpotensi terhadap soal yang semakin sukar, apakah sekolah menengah bersedia menerima dampak yang seperti ini atau PT yang justru harus berkorban dengan tidak berusaha membuat soal UN menjadi semakin sulit seperti hanya yang dilakukan dalam tes SNMPTN. Walaupun Mendiknas Bambang Sudibyo kelihatannya begitu mendukung rencana mengintegrasikan UN dan SNMPTN ini karena katanya akan memberikan manfaat yang besar, jika kita cermati tampaknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak persoalan yang perlu dipikirkan secara matang karena ada banyak pihak yang berkepentingan di dalamnya.***

Penulis, pemerhati pendidikan, dosen STT Kharisma Bandung dan alumnus Universitas Pendidikan Indonesia.


Sumber :

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=70366




UN, Ujian yang Tidak Mengevalusai

Oleh : Poppy Yaniawati

Saya menduga bila tidak ada kasus kriminalisasi KPK atau Pansus Bank Century dan sekarang disusul oleh penembakan kelompok teroris, boleh jadi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) akan menjadi berita utama di media massa, sebagaimana tahun-tahun lalu. Lebih-lebih tahun ini pelaksanaannya terkesan dipaksakan bila dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Agung tentang hal itu.

Apa mau dikata, UN akan kembali hadir dalam beberapa hari lagi di tengah masyarakat yang masih menuai kontroversi di kalangan para pemangku kepentingan pendidikan. Sementara itu, ketegangan yang senantiasa memengaruhi kondisi kejiwaan mulai dirasakan oleh para siswa, orang tua, dan pendidik. Biarlah pakar-pakar hukum membahas lebih jauh bagaimana keputusan lembaga hukum tertinggi dapat begitu saja diabaikan. Faktanya, pemerintah masih menganggap bahwa UN masih merupakan metode terbaik sebagai standardisasi kelulusan tingkat sekolah. Mendiknas menyatakan, UN masih dinilai paling banyak memiliki sisi positif dibandingkan dengan metode lainnya yang pernah kita gunakan mulai dari 1965 sampai sekarang, yaitu ujian negara pada 1965-1971 ataupun ujian sekolah pada 1972-1979. Ujian Nasional merupakan ubah wujud dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), yang dimulai 2001.

Memang cukup beralasan bagi sementara kalangan, yang berpendapat UN seyogianya dihentikan karena UU 20/2003 yang menjadi landasan filosofis pendidikan nasional menegaskan, pendidikan harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana untuk terciptanya proses pembelajaran yang memandang peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Kemudian, pendidikan harus dilihat sebagai proses pembudayaan yang mampu membentuk watak dalam membangun peradaban bangsa yang bermartabat. Namun faktanya, siswa lebih banyak dituntut terampil mengerjakan soal dengan jawaban yang boleh jadi tidak terlalu dipahaminya. Masalahnya kemudian, di mana adanya ruang untuk munculnya potensi diri dan proses pembudayaan seperti apa yang tercipta, bila ketidakjujuran menjadi aksesori yang senantiasa hadir dalam setiap pelaksanaanya. Bila dikembangkan, masalah UN dapat diidentifikasi ssebagai berikut.

Pertama, evaluasi menurut pasal 58 ayat (1), sistem pendidikan nasional kita merupakan kegiatan yang dilakukan pendidik yang berfungsi memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi merupakan bagian integral dari suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, ada tiga hal pokok dalam proses evaluasi, yakni kegiatan oleh pendidik, tolok ukur keberhasilan pembelajaran, dan hasil belajar siswa. Dari pemahaman itu, jelaslah bagi kita bahwa UN tidaklah bisa dikategorikan sebagai evaluasi karena tidak seutuhnya mengakomodasi ketiga hal itu. Padahal, salah satu bentuk evaluasi itu adalah ujian.

Kedua, implementasi kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengisyaratkan bakal terjadinya disparitas proses dan hasil belajar. Akan tetapi, tanpa menepis pentingnya standardisasi nasional pendidikan, untuk mengukur tingkat ketercapaian proses pembelajaran secara nasional. Namun, jelas sangat keliru bila mengukur keberhasilan belajar siswa, sekaligus menentukan kelulusan dan boleh dibaca sebagai penentu tolok ukur masa depan siswa, hanya diserahkan pada satu momentum yang jelas-jelas tidak sejalan dengan komitmen kurikulum yang telah disepakati, yakni KTSP. Boleh jadi pada masa yang akan datang, sekolah yang cermat menjalankan KTSP dan mampu memberi bekal kompetensi yang padat life skill-nya akan menjadi sekolah yang siswanya paling banyak tidak berhasil dalam UN.

Ketiga, sudah saatnya melihat ulang bentuk soal yang digunakan dalam UN. Sebagaimana yang dipesankan oleh sistem pendidikan nasional kita, yaitu luaran pendidikan dengan soft skill yang tinggi. Selama ini, siswa hanya diuji oleh seperangkat soal, dan bentuk soal yang tidak mengakomodasi luaran yang diharapkan. Bentuk soal seyogianya harus mengukur apa yang seharusnya diukur, misalnya dalam mata pelajaran matematika, ada daya matematika (mathematical power) yang harus dimiliki peserta didik yang memenuhi kriteria lulus UN. Kemampuan ini tidak dapat dimiliki hanya dengan cara men-drill seperti yang selama ini dilakukan oleh lembaga bimbingan belajar.

Keempat, masih sangat sulit mengurangi angka ketidakjujuran yang dilakukan siswa, orang tua, bahkan dari pendidik ataupun dinas terkait dalam praktiknya, yang tidak memahami makna suatu pembelajaran. Fakta integritas yang telah digagas oleh pemerintah dengan kepala-kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota, masih belum bisa menjamin tahun ini akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Imbauan normatifnya, adalah mari tingkatkan kualitas pengawasan dan tim pemantau independen yang jujur dan berwibawa. Hanya itu yang bisa kita lakukan. Tanpa instrumen yang penuh gereget, akhirnya imbauan tinggal imbauan. ***

Penulis, doktor pendidikan, Sekretaris Program Magister Pendidikan Matematika Unpas Bandung.

Sumber :

Poppy Yaniawati

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=132316




Presiden Diminta Tegur Mendiknas Terkait UN

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta Tim Advokasi Korban Ujian Nasional untuk menegur Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh terkait dengan tetap akan dilakukannya Ujian Nasional (UN) pada tahun 2010 .
"Sudah semestinya Presiden menegur keras Menteri Pendidikan Nasional dan memerintahkan untuk merombak kebijakan UN," kata Juru Bicara Tim Advokasi Korban UN, Haris, di Jakarta, Senin.

Menurut Haris, jika Mendiknas tetap menyelenggarakan UN maka tindakan tersebut bertentangan dengan putusan hukum dan akan membangun citra buruk pada program 100 hari Presiden Yudhoyono. Ia menegaskan, pada tanggal 14 September 2009, Mahkamah Agung telah menolak kasasi pemerintah dan dengan demikian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta terkait dengan gugatan terhadap Ujian Nasional.

Isi putusan PN Jakpus terkait gugatan tersebut pada 21 Mei 2007 antara lain menyatakan bahwa pihak tergugat (pemerintah) telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN. Selain itu, Putusan Pengadilan bernomor 228/Pdt. G/2006/ PN. JKT.PST itu juga memerintahkan kepada tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana-prasarana sekolah, dan akses informasi yang lebih lengkap sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut.

Pengadilan juga memerintahkan tergugat untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional. Tim Advokasi Korban UN untuk itu meminta Presiden meninjau kembali sistem pendidikan nasional dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan (Pasal 72).

Sebelumnya, Mendiknas Mohammad Nuh di Semarang, Sabtu (19/12), mengatakan, tujuan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) tidak perlu dipertentangkan lagi, terutama terkait penentu kelulusan atau standar nasional. "Mengapa harus didikotomikan seperti itu kalau memang keduanya dapat dicapai sekaligus," kata Nuh.

Menurut Mendiknas, UN dapat dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan, sekaligus digunakan sebagai standar pendidikan secara nasional dan memetakan proses penyelenggaraan pendidikan di seluruh daerah. ant/kpo


Sumber :

http://koran.republika.co.id/berita/97269/Presiden_Diminta_Tegur_Mendiknas_Terkait_UN

21 Desember 2009


Wakil Menteri Pendidikan Nasional : UN Masih Metode Terbaik Ukur Standar Mutu Pendidikan

Ujian nasional (UN) tetap dilaksanakan Maret 2010. Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Djalal, menegaskan, UN merupakan salah satu cara untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia dengan sistem yang mapan.

Menurut Fasli, UN dinilai masih sebagai metode terbaik sebagai standarisasi kelulusan tingkat sekolah. Sejak dari dulu, kata dia, sudah ada ujian, seperti Ebtanas, UAN, dan tidak ada yang protes. ''Kalau tidak ada UN berarti tidak ada peningkatan mutu pendidikan. kalau begitu semua murid tanpa belajar akan lulus,'' ujar Fasil kepada Republika, saat ditemui Senin malam (18/1).

Dari hasil UN itulah, nanti akan terlihat wilayah mana yang mutu pendidikannya masih rendah. Oleh karena itu, kata Fasil, untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualifikasi atau kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia.

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Rully Chairil Azwar, yang juga ketua Panitia Khusus (Pansus) UN DPR RI menjelaskan, Ma memutuskan bahwa UN mesti berjalan dengan beberapa catatan perbaikan yang harus dilakukan sebelum digelar. Rully juga mengungkapkan, Komisi X DPR masih menentang akan adanya UN karena anggaran yang hingga kini masih belum jelas.

''UN menjadi perhatian kami sejak dulu, sebab adanya kemungkinan kebocoran serta aspek psikologis sehingga berdampak besar pada tindakan pihak sekolah untuk melakukan kecurangan agar seluruh peserta ujian lulus,'' jelas Rully.

Mengenai pro-kontra mengenai UN dan isu kecurangan, Fasil menjelaskan bahwa kecurangan potensinya bisa dari mana saja, bisa dari siswa, guru, kepala sekolah, atau bisa juga di provinsi dan tidak hanya terkait dengan UN. Namun, yang dia tekankan adalah semua pihak yang terkait mau jujur dalam penyelenggaraan UN.

Persiapan UN sampai sekarang, lanjut Fasli, sudah jelas. Soal untuk UN sudah dibuat, Standard Operating Procedure (SOP) percetakan juga sudah proses tender. Fasil juga menyoroti masalah kerahasiaan soal dan lembar jawaban. Oleh karenanya, dia mengatakan, soal dan lembar jawaban sudah diawasi dari mulai pembuatan, pencetakan, sampai pendistribusiannya.


Red: endro - Reporter: c06


Sumber :

http://www.republika.co.id/node/101558

19 januari 2010



UN? Kami Tidak Takut!


Ujian Nasional atau UN sudah di depan mata. Jam belajar kita bertambah panjang, dari pagi sampai malam. Kalau semula pukul 14.00 kita sudah di rumah, ngaso, nonton, dan nongkrong bareng teman, sekarang pukul 18.00 baru tiba di rumah. Semua usaha tersebut demi satu tujuan: lulus UN.

Sejak kapan UN eksis di negeri kita? Berdasar informasi yang dihimpun, UN sudah ada sejak 1950. Kala itu namanya Ujian Penghabisan.

Pada masa itu semua soal ujian berbentuk esai dan dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Tahun 1972 pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Lebih demokratis kan? Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan setiap sekolah atau kelompok.

Tahun 1980 diluncurkan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ini menggunakan dua bentuk. Pertama, Ebtanas yang diadakan pemerintah pusat untuk mata pelajaran pokok. Kedua, EBTA yang diadakan pemerintah daerah.

Dalam Ebtanas, siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan itu 6, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah 3.

Tahun 2002 muncul istilah UAN (Ujian Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus bila memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.

Soal UAN dibuat Depdiknas. Memasuki 2004, kelulusan siswa dinyatakan berdasarkan nilai minimal setiap mata pelajaran, yaitu 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.

Tahun 2005, UAN berubah nama jadi UN. Standar kelulusan dinaikkan menjadi 4,25.

Menyikapi UN

UN yang diadakan pemerintah pusat seharusnya dianggap sebagai batu loncatan ke jenjang yang lebih tinggi, bukannya menjadi hambatan untuk kita. Standar nilai yang ditentukan pemerintah sekarang 5,50, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dapat dikatakan masih rendah.

Semua negara maju di dunia mengadakan ujian seperti UN, hanya berbeda sistemnya. Contohnya, di Malaysia ujian sejenis UN di Indonesia ini tak menentukan kelulusan siswa, tetapi hanya menjadi alat untuk melihat pencapaian siswa.

Di sini harus diakui Malaysia lebih fair terhadap beragam kemampuan siswa di tiap daerah. Enggak fair kalau daerah yang fasilitas infrastruktur belajarnya minim disamakan dengan daerah yang infrastruktur belajarnya surplus.

Persiapan UN

Untuk mengetahui persiapan teman-teman menghadapi UN, kami membuat angket yang disebar ke semua kelas XI dan XII. Data angket tercatat, 53 persen responden dari 187 siswa SMA Budi Mulia, Bogor, ternyata belajar sendiri.

Jika ditanyai bidang studi yang paling mudah dikuasai, baik siswa IPA maupun IPS menjawab Bahasa Indonesia. Sebanyak 41,33 persen menjawab Bahasa Indonesia mudah dikuasai.

Namun, bidang studi ini tak bisa dipandang sebelah mata. Kadang bacaan yang digunakan untuk membuat soal minta ampun panjangnya sehingga dapat meninabobokan kita, membuat grogi, dan berujung pada ketidaktelitian.

Untuk kelompok IPA, bidang studi yang paling mudah dikuasai adalah Kimia. Sedangkan untuk kelompok IPS, bidang studi yang dianggap mudah dikuasai adalah Ekonomi.

Lalu, apa mata pelajaran yang paling sulit? Kelompok IPA dan IPS menjawab Matematika. Berdasar angket, 40,54 persen siswa menyatakan Matematika merupakan bidang studi sulit.

Ada sebagian kecil siswa menganggap Matematika sebagai pelajaran menyenangkan. Mengapa? Itu karena Matematika adalah ilmu pasti. Jika jawabannya bukan 1, maka pasti 2, tak mungkin yang lain. Ditambah lagi, UN yang semua pilihan ganda, makin mudahlah Matematika ditaklukkan.

Ada remedial!

Tahun ini UN dilengkapi fasilitas remedial atau ujian ulang. Remedial adalah kesempatan kedua yang diberikan kepada siswa yang tidak lulus mata pelajaran tertentu.

Rencananya ujian ulang dilakukan 10-14 Mei 2010. Siswa yang mengikuti ujian ulang adalah mereka yang salah satu nilai bidang studinya di bawah standar, atau rata-rata nilainya kurang dari 5,50.

Cara ini efektif mengatasi angka ketidaklulusan siswa yang dikhawatirkan bertambah jumlahnya. Ini juga memberi siswa kesempatan menyelesaikan masa pendidikannya tepat waktu, selain diharapkan dapat mengurangi angka kecurangan dalam UN.

Dengan remedial, hendaknya tak membuat kita menjadi malas belajar. Tetaplah serius karena lebih baik sekali ujian lulus daripada menjadi beban nantinya.

Menolak UN

Sebagian besar responden, yakni 70,01 persen, menjawab tidak setuju bila UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan siswa. Memang demikianlah seharusnya, UN tetap diadakan, namun bukan menjadi penentu kelulusan.

Meski Depdiknas selalu berkilah bahwa UN hanya satu di antara empat syarat kelulusan, sebenarnya tiga persyaratan lain boleh dikatakan tak berarti dibandingkan dengan syarat nilai UN.

UN boleh saja dipertahankan sebagai ujian akhir untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Hal yang perlu diubah adalah sistemnya. Jangan sampai nilai UN yang hanya dihimpun dalam dua hari itu menjadi penentu kelulusan siswa.

Perlu dipikirkan juga tanggung jawab penentuan lulus tidaknya siswa diberikan kepada setiap daerah atau sekolah. Penilaiannya bukan dari nilai kognitif yang tersurat pada UN saja, melainkan juga aspek lainnya.

Guru-guru kami yang membimbing tiap hari lebih layak menilai apakah kami sudah pantas lulus SMA. Jadi, bukan oleh kebijakan menteri yang tak pernah tahu kemampuan kami.

Sikap akhir kami

Kita hidup di bumi yang sempit. Di dalamnya tak akan kita temukan kesempurnaan. Di balik rasa kurang puas akan UN, kita sebagai kaum muda perlu mengetahui beberapa hal yang baik dari UN.

Kita harus memperjuangkan mutu pendidikan Indonesia sehingga mutu pendidikan tak kalah dari negeri tetangga. Malu-maluin kalau kita tetap kalah dengan Malaysia misalnya.

Walau dengan kemampuan sekolah yang terbatas, kita harus berusaha! Sebab, masalah utamanya kadang bukan pada fasilitas, tapi bagaimana dengan fasilitas yang ada kita dapat mencapai hasil maksimal.

Jadikan UN sebagai wadah untuk menunjukkan pendidikan di Indonesia tak boleh dianggap enteng.

Negara kita adalah negara maritim, terpisah oleh laut, negara kepulauan. Tiap pulau tentu punya tingkat sumber daya manusia (SDM) yang berbeda. Diharapkan UN menjadi salah satu sarana mengetahui tingkat SDM tiap daerah.

Kami tidak takut UN! Tapi, please... Pak Menteri, ubah sistemnya jadi lebih fair dan lebih nyaman agar sistem belajar-mengajar makin kondusif. (Tim SMA Budi Mulia Bogor: Venansius Thomas Kapitan Openg, Alusius Ari Setyanto, Ignatius Mario Andrianto Keytimu, Hendrik Sanjaya, Mutiara, Kezia Miracle Sormin)


Sumber :

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/12/03020031/.un.kami.tidak.takut

12 Maret 2010


Dilema UAN

Momok yang paling menakutkan bagi siswa kelas 3, ujian akhir nasional (UAN) sudah di depan mata. Tahun 2010 ini, UAN akan dilaksanakan pada 22 – 26 Maret 2010 untuk SMA/SMK/SMALB, 29 Maret - 1 April 2010 untuk SMP/MTs/SMPLB, dan 4-6 Mei 2010 untuk SD/MI/SDLB. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh pihak sekolah maupun para siswa. Mulai dari persiapan akademis, psikologi maupun taktis.

Bekal akademis diberikan melalui penambahan jam belajar untuk mata pelajaran yang diujikan. Bekal psikologis diinput melalui pendekatan training motivasi baik lewat ceramah, kunjungan studi maupun lewat pendekatan agama. Nah, persiapan ketiga adalah bekal taktis. Persiapan ini agak unik karena penuh dengan akal busuk dan permainan kotor yang melibatkan guru.

Siapa yang tak sedih jika melihat siswa binaannya tak lulus UAN? Sekolah mana yang tak malu jika banyak siswanya tak lulus ujian? Maka dilakukan strategi-strategi penyelamatan secara sistematis. Suatu kali saya pernah menanyakan kepada seorang kepala sekolah terkait tingkat kelulusan siswanya tahun kemarin. Dengan agak diplomatis beliau menjawab, “semuanya diluluskan”. Ada sedikit kejanggalan. Bukankah kelulusan tergantung pencapaian nilai minimal? Bahasa yang digunakan sang Kepala Sekolah, “diluluskan” bukan “lulus”. Artinya terdapat unsur pihak ketiga. Setelah dikejar, ternyata beliau mau mengaku bahwa semuanya diluluskan dengan pertolongan guru-guru yang memberikan jawaban soal saat ujian. Wah…

Niat baik Departemen Nasional untuk memberikan standar tertentu kepada para siswa akhirnya mental oleh jajarannya sendiri. Unsur kepedulian berkelindan dengan motivasi menyelamatkan nama sekolah telah mengaburkan originalitas dan moralitas akademis. Contek-menyontek merupakan persoalan klasik dalam dunia pendidikan kita. Bahkan sampai ke perguruan tinggi-pun masih ada. Guru yang seharusnya menjadi gerbang utama untuk membasmi penyakit kronis ini, jika sudah melegalkan upaya pemberian jawaban saat UAN, maka akan dikemanakan pendidikan kita?

Untuk maju memang dibutuhkan tamparan. Kadang tingginya tingkat kelulusan menjadi resiko sebuah perubahan. Ruh suatu bangsa terletak pada standar pendidikan. Jika mau maju maka kita harus menaikan terus menerus standar itu.

Satu hal yang luput dari perhatian kita adalah sejak standarisasi UAN diberlakukan, semua sekolah melakukan pembenahan. Siswa-siswi tak lagi malas-malasan belajar. Semuanya berpacu dan beberapa dari mereka melejit dengan raihan prestasi-prestasi nasional maupun internasional dalam olimpiade-olimpiade yang dilakukan secara berkala. UAN telah mendorong sekolah-sekolah untuk memperbaiki diri dan beberapa tahun terakhir berhasil menembus nilai teratas dalam UAN.

Dilema UAN memang telah menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi semakin meningkatkan semangat para siswa untuk belajar, tapi di sisi lain semakin memassifkan kecurangan. Semua pihak memiliki argumen masing-masing yang cukup bisa diterima. Pihak yang pro beralasan dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional, sedangkan pihak yang kontra beralasan dengan rasionalisasi pengabaian proses 3 tahun lewat ujian yang hanya beberapa hari.

Isu SARA-pun berkembang terkait dengan hal ini. Dalam satu kesempatan, penulis mendengar sinyalemen bahwa gerakan-gerakan demontrasi dan penolakan terhadap pelaksanaan UAN berasal dari kalangan Nasrani. Sekolah-sekolah Kristen merasa resah dengan pencapaian sekolah-sekolah Islam dalam UAN. Sekolah-sekolah Islam melejit menyamai bahkan melewati raihan sekolah-sekolah Nasrani yang biasanya menempati top rank.

Tapi, apakah pandangan negatif ini harus dikibaskan lebih jauh sehingga memperkeruh suasana? Agaknya kita harus melihat persoalan lebih komprehensif. Ketika persoalan UAN ditarik dalam wilayah agama, maka sentimen keagamaan akan meledak lagi. Maka ada baiknya persoalan UAN tidak dibawa-bawa dalam wilayah sensitif yang membuat kita berpikir eksklusif dan sempit hanya pada kelompok sendiri. Bangsa ini maju apabila semua pihak bersama-sama memikirkan apa yang terbaik bagi dunia pendidikan. Bukan lewat “membakar” persoalan dengan menarik agama sebagai bagian dari masalah.


Sumber :

Anggun Gunawan
http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/22/isu-agama-terkait-uan/

22 Februari 2010